Search
Close this search box.

HIV/AIDS, Stigma dan Aspek Sosial Budaya

Oleh: Ully Damari Putri*

Ourvoice.or.id- Setiap penyakit memiliki aspek sosial-budaya yang menentukan bagaimana penyakit tersebut dipersepsikan oleh suatu kelompok masyarakat.

Dalam hal HIV/AIDS, penularan virus menjadi hal yang menarik untuk dibahas terkait dengan aspek sosial-budaya masyarakat Indonesia. Virus HIV hanya bisa menular lewat darah, sperma, cairan vagina dan ASI melalui jarum suntik, hubungan penetrasi seksual tanpa proteksi, serta dari ibu ke anak pada masa kehamilan, melahirkan dan menyusui.

Untuk setiap cara penularan, ada spektrum risiko yang menjelaskan apakah suatu jenis perilaku lebih berisiko dari perilaku yang lain. Misalnya, penetrasi seksual anal lebih berisiko tinggi ketimbang vaginal mengingat risiko gesekan yang menimbulkan luka lebih tinggi karena tidak adanya cairan lubrikan alami sehingga virus pun lebih mudah masuk. Begitu pula halnya dengan pelaku penetrasi. Mereka yang dipenetrasi berisiko lebih tinggi tertular virus ketimbang mereka yang melakukan penetrasi.

Akibatnya, praktek seksual anal yang dilakukan baik oleh pasangan homoseksual maupun heteroseksual tanpa proteksi lebih rawan terkena virus HIV ketimbang laki-laki yang berhubungan seksual dengan wanita dengan cara penetrasi. Selain itu, wanita jelas lebih rentan terkena virus HIV ketimbang laki-laki mengingat fungsi organnya yang “didesain” untuk menerima sperma.

Susan Sontag dalam bukunya AIDS and Its Metaphors menulis, “Suatu penyakit menular yang jalur penularannya melalui praktik seksual akan menempatkan mereka yang lebih aktif secara seksual pada posisi yang lebih rentan –dan akan sangat mudah memandang penyakit tersebut sebagai hukuman (punishment) atas perilaku mereka.”

Penggunaan kata hukuman ini menjadi penting mengingat wacana orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai orang dengan perilaku yang dianggap “menyimpang” yang layak mendapat hukuman kembali dimunculkan oleh Wirianingsih anggota komisi IX DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 10 Juli lalu. Wirianingsih menggunakan kata itu untuk mempertanyakan pengobatan ARV gratis bagi ODHA yang akan ditanggung negara lewat Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) pada saat dengar pendapat dengan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, di Jakarta.

Dengan mengutarakan pandangannya mengenai HIV/AIDS sebagai penyakit yang hanya diderita oleh mereka yang menurutnya berperilaku tidak sehat, seperti pengguna obat-obatan dengan jarum suntik serta pelaku “seks bebas”, Wirianingsih memberi stigma tidak hanya pada virus itu sendiri namun juga mereka yang hidup dengan HIV. Selain memberi stigma, ia menunjukkan bahwa mereka yang dianggap berperilaku “menyimpang” sepatutnya mendapat hukuman dengan tidak memberikan akses obat gratis yang dapat menjamin kesehatan mereka.

Ada beberapa hal yang luput dari pemikiran Wirianingsih. Pertama, ia mungkin lupa bahwa kesehatan adalah hak semua orang, dan negara yang menjamin kesejahteraan warga negaranya tidak dapat mendiskriminasikan seorang warga negara berdasarkan apa yang dianggapnya sebagai perilaku menyimpang.

Kedua, ia mungkin tidak memikirkan skenario penularan HIV lainnya. Bagaimana dengan para istri yang mendapat virus HIV dari suami mereka yang melakukan hubungan seks tanpa proteksi di luar pernikahan atau suami mereka yang mantan pengguna obat-obatan dengan jarum suntik? Bagaimana dengan perawat yang tertular saat menjalankan tugas? Atau anak-anak yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV tanpa tahu status mereka serta tidak sempat melakukan tindakan pencegahan terkait biaya dan tidak adanya akses ARV? Apakah mereka merupakan pelaku perbuatan menyimpang? Sehingga kemudian layak mendapatkan hukuman?

Ketiga, bisa jadi Wirianingsih lupa bahwa perubahan adalah hal yang konstan. Bila seseorang merupakan pengguna obat-obatan dengan jarum suntik (penasun) saat ini, tidak berarti bahwa ke depannya ia akan terus menjadi penasun. Mereka yang sembuh dari kecanduan justru mampu membawa perubahan serta menjangkau kelompok penasun dengan tingkat kesuksesan tinggi. Lihat prestasi rekan-rekan Rumah Cemara yang tidak hanya sukses melakukan penjangkauan bagi para penasun namun juga sukses mengajak kelompok anak muda di kota Bandung untuk aktif melakukan perubahan sosial lewat sepakbola dan League of Change mereka sampai ke tingkat international.

Sontag menulis bukunya di tahun 1988. Sejak saat itu pendekatan perawatan kesehatan terkait HIV/AIDS sudah menjauh dari wacana moral, dosa atau tidak dosa, menyimpang atau tidak menyimpang. Yang menjadi fokus penyedia layanan kesehatan di kebanyakan negara adalah bagaimana memberikan akses kesehatan yang berkualitas tanpa mendiskriminasi penerima layanan tersebut. Sudah saatnya kita menyadari bahwa HIV hanyalah virus yang bisa diobati dan dicegah, bukan untuk dimaknai sebagai virus pendosa.

*Kandidat Doktor Universitas Colorado, Boulder USA / Peneliti isu sosial terkait HIV/AIDS di Indonesia.