Search
Close this search box.
Franz Magnis Suseno Foto : Hartoyo/Ourvoice
Franz Magnis Suseno Foto : Hartoyo/Ourvoice

Ourvoice.or.id- Seorang filsuf asal Jerman menjadi intelektuil penting di Indonesia. Lewat filsafat, ia melahirkan generasi intelektuil serta kelompok muda pemberontak yang berani menentang rezim Orde Baru.

Awal `70an adalah masa konsolidasi awal kekuasaan Orde Baru. Periode yang ditandai dengan proyek teknokrasi. Masa ketika keputusan politik direduksi menjadi urusan teknis, zonder diskusi apalagi perdebatan.

Untuk menopang proyek teknokratisasi, dunia pendidikan didorong mencetak “manusia pembangunan”, sebuah generasi yang punya keahlian teknis untuk menopang pertumbuhan ekonomi namun tanpa sikap kritis.

Pada periode itulah seorang pastor muda asal Jerman, ditugaskan melawan arus. Franz Magnis-Suseno, seorang Imam muda dari Serikat Jesuit, pada awal `70an bersama rekan-rekannya dari ordo Fransiskan mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, di Jakarta.

Generasi Pemberontak

Ilustrasi : Hartoyo/Ourvoice
Ilustrasi : Hartoyo/Ourvoice

Pada saat arus utama pendidikan diarahkan untuk membangun keterampilan teknis, STF Driyarkara menawarkan kritisisme. Mempertanyakan kembali arti kemajuan dan proyek modernisme yang menjadi mainstream rezim pembangunan saat itu.

Sekolah filsafat Driyarkara adalah magnet bagi para pembangkang. Inilah oase bagi pikiran bebas. Membuka kesempatan untuk mempelajari dan mendiskusikan hal-hal tabu seperti Marxisme, yang secara resmi dilarang oleh pemerintah Orde Baru.

Michael Dhadack Pambrastho, adalah aktivis cum demonstran mahasiswa Bandung awal ‘90an. Ia termasuk orang yang terpikat dengan “pikiran bebas” di sekolah filsafat yang didirikan Franz Magnis.

Kepada Deutsche Welle ia mengenang perjuangannya mengikuti kursus kelas “Para Filsuf Penentu Gerak Zaman“, yang digelar setiap Senin.

“Aku begitu antusias. Senin siang berangkat dari Bandung mengejar kelas filsafat yang dimulai sore di Driyarkara Jakarta. Selesai kuliah, malam itu juga langsung pulang ke Bandung karena paginya ada kuliah.“

Tapi hambatan jarak dan keterbatasan finansial sebagai mahasiswa, memaksa ia berhenti.

“Maka dengan sedih kutinggalkan masa-masa bulan madu dengan filsafat,“ kenang Dhadack.

Tapi kursus itu membekas. Selain memperkuat kritisisme, kelas filsafat itu mempertemukannya dengan para aktivis mahasiswa dari kota lain.

Savic Aliel`ha adalah contoh lain. Ia adalah tokoh gerakan mahasiswa `98 yang terpikat dengan suasana diskursif dan terbuka yang ditawarkan sekolah yang didirikan Franz Magnis.

“Karena membuka cakrawala yang luas bagi tumbuhnya pemikiran kritis dan–dalam skala tertentu — subversif,“ kata Savic, tokoh Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED), sebuah organisasi mahasiswa paling radikal pada masa orde baru, kepada Deutsche Welle.

Tentang Franz Magnis yang menjadi pembimbing akademiknya semasa kuliah di STF Driyarkara, Savic berkomentar: ”Ia mengajarkan mahasiswa untuk berfikir filosofis dan kritis“.
Bagaimana komentar Goenawan Mohamad tentang sosok Franz Magnis? klik untuk baca selengkapnya

Sumber : dw.de