Search
Close this search box.

 

Sumber : Internet
Sumber : Internet

Ourvoice.or.id- Dimensi kekerasan dalam agama bersifat intrinsik namun bukan berarti tidak bisa dipisahkah, ungkap Ulil abshar Abdalla, dalam seminar Agama, Negara dan Kekerasan yang diselenggarakan oleh Departemen Filsafat Universitas Indonesia pada Rabu, 4 Juni 2013.

Ulil memaparkan bahwa pertanyaan mengapa terjadi kekerasan atas nama agama yang sering dilontarkan orang   saat ini menimbulkan tiga asusmsi. Asumsi pertama adalah asumsi kekagetan, bahwasannya tidak mungkin agama bisa memantik aksi kekerasan karena agama mengajarkan kebaikan. Asumsi kedua  adalah pengandaian tentang perbedaan kamar antara agama dan kekerasan, keduanya diandaikan sebagai sesuatu yang bertentangan. Ketiga,  bila kontradiksi ini terjadi  maka harus dicari solusinya.

Setelah itu, Ulil menjelaskan bahwa dalam kitab suci, banyak ayat yang rentan dijadikan pembenar terhadap aksi kekerasan. Ulil pun mengutip Al-Qur’an surat Al Fath ayat 29 yang artinya  Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras  terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang antara sesama mereka. Dalam ayat ini, jelas Ulil, dua ciri utama pengikut nabi Muhammad yakni bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim.

Ulil Abshar Abdala- Naupal- Donny Gahral Adian- Alex lanur (Foto: Hartoyo/Ourvoice)
Ulil Abshar Abdala- Naupal- Donny Gahral Adian- Alex lanur
(Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Kemudian Ulil menyebutkan seorang penafsir klasik yakni Ibnu Kathir. Dalam penafsiran Ibnu Kathir, sifat orang beriman adalaha keras dan kejam terhadap orang orang kafir, kasih sayang dan baik terhadap orang-orang beriman; marah dan berwajah cemberut kepada orang orang kafir dan tertawa serta berseri-seri wajahnya terhadap saudara seiman. Tentu saja,  penafsiran ini bisa menjadi ‘senjata’yang akan dipakai untuk membenarkan aksi kekerasan atas nama agama. “Dalam menafsirkan ayat, harus dipertimbangkan pula konteks sejarahnya… konteks ayat itu adalah  masa perang, jadi wajar saja bila umat muslim diperintahkan untuk keras terhadap orang kafir” kata Ulil.

Ulil mengungkapkan bahwa Al-Qur’an ditafisrkan sesuai dengan niat sang penafsir. Jika sang penafsir berniat jahat maka produk tafsirannya juga jahat; intoleran, menghalalkan aksi kekeasan, mengungkung perempuan, homophobia dan lain sebagainya. Begitupun sebaliknya, bila penafsir berniat baik maka produk penafsirannya pun berdampak baik.”Jadi tergantung niatnya saja, mau tengkar ada ayatnya, mau damai juga ada ayatnya” ujar Ulil. (Gusti Bayu)

Makalah lengkap dapat diunduh di sini