Search
Close this search box.

Makna Cinta Bagi Sang Waria

Oleh:

Hartoyo*

Ourvoice.or.id- Film yang bercerita tentang kehidupan Waria tentu sudah banyak sekali dibuat oleh film maker di Indonesia maupun international, baik yang fiksi maupun non fiksi. Apalagi yang bercerita tentang “Cinta” seorang Waria, kita tentu berpikir tidak ada yang “istimewa” cerita tersebut.

Saya sendiri awalnya berpikir itu ketika menerima copy-an film dokumenter “Tales of The Waria” dari seorang aktivis buruh Migran, Wahyu Susilo.  Paling film biasa yang bercerita tentang kehidupan Waria.

Tetapi Film dokumenter “Tales of the Waria”  yang di sutradarai oleh Kathy Huang  asal Amerika Serikat mempunyai konsep cerita “biasa” tetapi berhasil dikemas plot atau alur yang sangat luas biasa.  Film ini diputar oleh Our Voice pada Minggu, 16 Juni 2013 yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan berbagi pengalaman sesama teman-teman Lesbian,Gay, Biseksual,Transgender (LGBT).

Film ini sebenarnya “hanya” bercerita tentang dinamika kehidupan “Cinta” seorang Waria. Sang sutradara mengambil 4 tokoh utama Waria dari Makasar-Sulawesi Selatan, Suharni, Firman, Mami Ria dan Tiara. Ke-empat tokoh mempunya persoalan masing-masing tentang cinta dan kehidupan pribadinya, tetapi ada benang merah yang sama. Pergulatan diri untuk mendapatkan cinta atas identitas dirinya sebagai seorang Waria.

Suharni seorang Waria muda yang akhirnya ditinggalkan oleh pasangan laki-lakinya karena memutuskan untuk menikah dengan perempuan. Suharni akhirnya memutuskan untuk single saja karena dia meyakini sulit mencari laki-laki yang benar-benar mencintai dirinya.

Kemudian tokoh lainnya, Mami Ria seorang Waria yang sudah lebih “senior”. Ria mempunyai pasangan laki-laki (bernama Anshar) seorang Polisi. Sudah lebih 18 tahun Mami Ria menjalin hubungan dengan sang Polisi tersebut, tetapi Anshar adalah seorang laki-laki yang juga punya istri dan dua orang anak.

Hubungan Mami Ria dan keluarga Anshar (istri dan anaknya) terlihat baik-baik saja, seperti praktek poligami yang “rukun” dan damai sentosa. Tetapi dibalik itu, Mami Ria juga merasakan bahwa dirinya sebagai “istri kedua” dinomordua-kan dibandingkan istrinya Anshar. Mami Ria seperti meyakini bahwa Anshar lebih mencintai istrinya (perempuan) karena alasan anak dan kondisi Mami Ria sudah tua dan sebagai Waria.

Berbagai upaya dan pengorbanan dilakukan oleh Mami Ria untuk sang suami, salah satu melakukan operasi wajah untuk pengukuhan dirinya menjadi lebih cantik dan “sempurna” sebagai perempuan. Bukan hanya itu, hubungan dan pengorbanan Mami Ria kepada Anshar dan keluarganya ditunjukkan dalam film tersebut.

Kemudian ditampilkan tokoh Waria selanjutnya, Tiara adalah seorang Waria yang terinfeksi virus HIV yang juga telah memiliki pasangan laki-laki. Tiara sebagai pencari nafkah utama dari hubungan tersebut.  Kehidupan Tiara memang menjadi “wajah” dari umumnya kehidupan Waria di Indonesia. Dalam film itu berhasil menampilkan relasi kuasa dengan bentuk pengabdian dan pelayanan yang diberikan oleh Tiara pada sang kekasih. Walau Tiara menyatakan rela dan sangat senang memberikan layanan istimewa pada sang kekasih. Katanya sangat sulit mencari laki-laki yang baik seperti pasangannya.

Narasumber ke-4, Waria yang menikah dengan seorang perempuan dan mempunyai dua orang anak. Namanya Firman. Firman sehari-sehari berpenampilan layaknya laki-laki tidak seperti tiga tokoh yang sudah saya sebutkan. Mereka berpenampilan dan meyakini layaknya kehidupan perempuan. Sedangkan Firman sosok “Waria” dengan penampilan layaknya laki-laki, walau dirinya dalam film tersebut tidak meyebutkan dirinya sebagai seorang Waria tetapi sebagai laki-laki.

Alasan Firman sendiri menikah tentu banyak faktor, dalam film itu tidak disebutkan dengan jelas mengapa dirinya memutuskan untuk menikah dengan perempuan.

Melalui tokoh Firman, ditampilkan cerita baru bahwa seorang laki-laki feminin, yang disebut dengan Waria dapat menikah dengan perempuan dan mempunyai anak. Jadi semakin jelas bahwa mempunyai anak biologis tidak selalu berkaitan dengan identitas gender seseorang tetapi ini real soal reproduksi manusia. Jika seorang Waria, Gay menghasilkan sperma yang sehat maka memungkinkan mempunyai anak.

Menurut Firman dirinya bahagia membangun rumah tangga. Tetapi pada adegan-adegannya film ini berhasil menampilkan pergulatan dan kegelisahan diri Firman dan istrinya atas situasi rumah tangga mereka. Firman seperti lelah dengan situasi dirinya yang kadang muncul keinginan mencintai laki-laki dan ingin mengekspresikan dirinya layaknya Waria. Maka yang dilakukan oleh Firman biasa akan berkumpul dimana teman-teman Waria ada.

Tetapi justru ketika Firman berkumpul dengan teman-teman Waria lainnya, hal itu yang membuat istrinya menjadi gelisah dan kuatir. Istri Firman tetap berpikir bahwa suaminya masih ada rasa suka dengan laki-laki, walau Firman sendiri tidak pernah bicara terus terang soal ini kepada istrinya.

Pergulatan-pergulatan diri dalam tokoh-tokoh di film itu berhasil tergambar dengan baik. Dari mulai orang terdekat, seperti orang tua, pasangan sampai yang paling dalam masalah diri sendiri atas identitasnya sebagai waria.

Menurut saya, film ini ingin menampilkan pesan bahwa inilah realita yang sangat kompleks dari kehidupan sebagai Waria. Karena identitas diri yang tidak diakui oleh negara secara formal membuat mereka seperti harus berjuang lebih berat untuk mendapatkan “cinta sejati”.  Cinta dari negara, masyarakat sampai pasangan. Cinta yang selama ini didapat oleh perempuan dan laki-laki heteroseksual.

Peserta Nonton Bareng Film The Tales of Waria (Foto: Yatna Pelangi/Ourvoice)
Peserta Nonton Bareng Film The Tales of Waria
(Foto: Yatna Pelangi/Ourvoice)

Film ini sepertinya ingin menyatakan ketika Anda menjadi Waria, maka bersiap untuk mengorbankan perasaaan, materi dan segalanya agar mendapatkan cinta. Penghiatan, eksploitasi dan kekerasan seperti menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan Waria jika ingin mendapatkan cinta dari seorang laki-laki.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Waria, beberapa kasus (mungkin juga banyak kasus) dialami juga oleh perempuan yang menikah atau menjalin relasi bercinta.  Identitas perempuan yang dianggap “sempurna” oleh masyarakat dan negarapun masih sering mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Waria. Walau bentuk dan caranya berbeda-beda.

Hanya yang membedakan bahwa kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan “minimal” telah ada pengakuan  formal sebagai sebuah pelanggaran kemanusiaan oleh negara dan masyarakat. Tetapi apa yang terjadi pada Waria justru sebaliknya. Dalam hal ini, Kathy Huang  berhasil mengambar itu dalam film “Tales of the Waria”.

Menurut saya, film ini memang benar-benar layak mendapatkan mendapatkan banyak penghargaan di International. Bahkan dibeberapa kampus di Australia menjadi bahan “ajar” bagi mahasiswa.

Terakhir saya menyarankan film untuk menjadi kajian-kajian ilmiah bagi mahasiswa yang ingin belajar tentang identitas gender, queer teory, ketimpangan relasi gender dalam pasangan sampai persoalan politik identitas di ruang publik.  Berharap, semoga film ini dapat ditonton lebih banyak di masyarakat Indonesia. Mungkin akan lebih efektif jika dapat diputar stasiun televisi Indonesia.

*Sekretaris Umum Our Voice