Ourvoice.or.id- Migrasi manusia sudah terjadi sejak awal sejarah manusia. Para pakar beranggapan, di era globalisasi ini, banyak kehidupan mengenaskan dari kaum migran yang masih belum juga mendapat tempat di media.
Sejak dulu, manusia terus bergerak, mempunyai insting untuk meloloskan diri dari kekurangan dan mencari penghidupan yang layak. Pergerakan tersebut diliputi mulai dari kontak satu sama lain, ketegangan, kebutuhan akan sumber daya yang kadang sampai diperebutkan dan bahkan menimbulkan bentrokan. Namun gerakan-gerakan itulah yang telah menimbulkan kontak antar-budaya, pertukaran dan pertumbuhan pengetahuan, seni, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban modern
Dalam menghadapi krisis ekonomi global sekarang ini, pergerakan manusia berupa migrasi menjadi agenda politik, dan media memainkan peran besar dalam membahas isu-isu yang terkait dengan migrasi. Hal itu tak mengherankan karena jumlah migran bukan terbilang sedikit. Organisasi Internasional untuk Migrasi IOM memperkirakan, terdapat sekitar tiga persen migran dari keseluruhan populasi di dunia.
Namun kenyataannya tak melulu demikian. Para pakar berpendapat media kerap membentuk stereotip tertentu dan hanya mengungkap sebagian fakta. Padahal media mempunyai tanggung jawab menyoroti perjuangan dan tantangan para migran, korban perdagangan manusia, pengungsi dan kelompok marginal lainnya.
Para praktisi media dan lembaganya diharapkan dapat meningkatkan aktivitas mereka agar suara-suara mereka yang rentan dapat didengar, dan menggambarkan mereka seakurat dan sejujur mungkin.
Keberhasilan media yang diragukan
Seorang pengamat media, produser dan penulis Amerika Serikat Larry Rich yang berpengalaman menulis masalah migran di Amerika Latin membagi pengalamannya, “Setelah mengecap pengalaman bahkan selama tiga puluh tahun, saya masih tidak yakin bahwa kami sebagai wartawan telah berhasil membuat isu migran bisa terangkat. Bahkan upaya terbaik kami hanyalah berupa dokumentasi atas orang tertindas dengan cara kami berbicara atas nama mereka.”
Larry Rich berpendapat bahwa jarang dilakukan investigasi yang menyelidiki latar belakang mengapa orang memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka, kehidupan awal mereka. Lebih banyak yang disoroti media adalah soal penyelundupan dan isu prostitusi yang disajikan dengan cara sensasional. Menurutnya, mengangkat sudut pandang dari sisi sensasional itu lebih mudah bagi wartawan, mengingat banyaknya keterbatasan dalam melakukan investigasi. Dikatakannya, “Memanusiakan angka atau data statistik mengenai kehidupan migran merupakan tantangan yang dapat diatasi. Namun kita harus ingat, bahwa di balik angka-angka ini terdapat orang-orang yang perlu mendapat perhatian.”
Korban yang lemah?
Seorang wartawan Malaysia dari harianThe Sun yang merupakan pengamat media, Karen Kesawathany Arukesamy, menyoroti hal lain dalam isu migran. Ia melihat selama ini media di Asia hanya sebatas melihat dan menyajikan gambaran pekerja migran sebagai korban yang lemah, “Mereka hanya digambarkan sebatas sebagai orang-orang yang membutuhkan belas kasihan orang lain atau bahkan sebagai orang-orang yang putus asa dalam mencapai sesuatu.”
Sementara Larry Rich mengatakan ia sengaja menghindari istilah migran yang rentan dengan sebutan ‘korban’. Rich ingin agar dalam reportase di media, para migran juga dapat berhasil menjadi “protagonis yang mampu melakukan perubahan”.
Kerjasama dengan LSM
Kepala Komunikasi Komisi Migran International di Jenewa, Swiss, Lori Brumat, menandaskan, seharusnya media juga dapat bekerja sama dengan lembaga non pemerintah atau LSM untuk memperjuangkan isu yang sama, yakni masalah-masalah serius yang dihadapi kaum migran.
Dia memberikan satu contoh dari kampanye Amnesty International yang sukses merancang kampanye hak-hak asasi manusia khususnya para pengungsi, dengan mengedepankan personifikasi mereka. Ia menyarankan wartawan bisa menggunakan bentuk serupa dalam mengangkat isu kaum migran.
Sumber : dw.de