Ourvoice.or.id- Tales of The Waria, film yang mengisahkan kehidupan nyata empat sosok waria asal di Makasar menjadi tontonan bareng dan diskusi Ourvoice 16 Juni 2013. Film karya Kathy Huang ini sering dijadikan referensi dalam berbagai kuliah umum di universitas Australia. Film ini pun mendapat apresiasi besar dari peserta nonton bareng ourvoice. Salah satunya dari Marya Budianta, yang masa kecilnya di Australia, “Bagus karena ada dari berbagai versi. Tidak hanya dari satu sosok aja”.
Film dokumenter dipuji sebagai terbaik oleh Hartoyo sekum Ourvoice “Karena menampilkan dinamika pergulatan dalam diri waria. Membungkus dengan baik tanpa harus dengan jargon dan kemarahan”. Hal serupa diungkapkan dosen teologi STT Jakarta, Pendeta Stephen Suleeman “Film yang bagus yang mengungkapkan banyak sekali sisi kehidupan waria, banyak orang yang tidak tahu keseharian mereka, pergulatan mereka dan dibalik semua itu”.
Ully Damari Putri seorang peneliti dari Universitas Indonesia tentang HIV justru melontarkan sebuah pertanyaan, “Apa waria identik dengan bisnis kecantikkan?”. Pertanyaan itu satu persatu dijawab oleh peserta lain seperti, waria di diskriminasi di sekolah, minimnya lapangan pekerjaan, pada sektor formal mengharuskan waria bekerja sebagai laki-laki dan lainnya. Ada juga yang bekerja di sektor formal dengan identitasnya sebagai waria seperti Luluk Surahman dan Olivia Laurent. Namun itu sedikit sekali.
Mochie yang merupakan anggota komunitas lesbian BFF, ikut mengomentari dari konsep hubungan, “Cinta memang rumit, pernikahan itu seperti apa? Datang dari kita sendiri atau memang harus mengikuti stigma dalam masyarakat. Terus apa hukumnya dosa atau tidak?”.
Nia, peserta yang jauh-jauh datang dari Tegal dan dibesarkan dari background agama mengisahkan ada stigma jelek di daerahnya kalau waria itu menular. “Kalau waria dari pandegelang. Waria itu stigmanya jelek, lapangan pekerjaan susah, lebih ke pekerja sex. Lalu ada kekerasan”.
Berbeda dengan Eky, Priawan (Transgender perempuan ke laki-laki) asal Lampung mengungkapkan, “Waria di lampung lebih berkreasi, karena diterima pemerintah, kalau ada event mengisi acara, kalau priawan belum ada yang muncul, karena masih berlindung dibalik lesbian. Priawan sulit diterima dalam lapangan pekerjaan karena ekspresi jendernya tidak diterima”.
Informasi Masyarakat akan pendidikan gender dan seksualitas di Indonesia masih sangat minim. Maka dari itu mari kita bersama-sama mengakses dan berbagi informasi seluas-luasnya melalui pertemuan dan sosial media. (Rikky)