Ourvoice.or.id- Gabungan masyarakat sipil perempuan Indonesia mengkritik penayangan berita di televisi dan cetak terkait poligami yang dianggap eksploitatif, tidak mendidik, dan tidak sensitif terhadap perempuan korban.
Dalam jumpa pers yang digelar pada Kamis (23/05) di Kantor LBH Jakarta, Dwi Rubiyanti Kholifah dari The Asian Muslim Action Network mencontohkan kasus penayangan kesaksian tujuh istri Eyang Subur yang selalu terdengar ‘positif’ dan mengembar-gemborkan poligami sebagai sesuatu yang biasa saja.
Selain itu, pemberitaan kasus korupsi juga dianggap menyudutkan perempuan. “Korupsi jelas korupsi, tetapi karena ada dana yang mengalir ke perempuan satu, dua, tiga, pemberitaan malah membesar-besarkan perempuannya,” kata Rubiyanti, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Christine Franciska.
“Efeknya selain menjustifikasi perilaku buruk suami, perempuan seakan disalahkan. Karena perpektif masyarakat kita masih positivistik. Ini sangat berbahaya kalau tidak dijaga, kita wajib suarakan kritik ini karena memang sudah keterlaluan.”
Menganggar UU
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhammad Isnur menilai tayangan yang menggembar-gemborkan poligami pada dasarnya telah melanggar UU Nomor 32/2002 pasal 5, tentang fungsi penyiaran yang diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab.
Pelaku media juga dianggap melanggar Undang-Undang No 7/ 1084 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), khususnya pasal 16 tentang perkawinan dan hukum keluarga.
“Dua pelanggaran ini cukup bagi LBH Jakarta untuk peringatkan penyelenggara penyiaran untuk segera menghentikan tontonan yang poligami boleh, dan menyenangkan,” kata Isnur.
LBH Jakarta dan aktivis perempuan meminta Komisi Penyiaran Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Kominfo untuk segera menindak tegas dan menghentikan tayangan-tayangan bias tentang poligami.
“Penayangan berita yang tidak sensitif dan membiaskan realita ini juga pada akhirnya menyakiti korban poligami. Ada banyak laporan perceraian karena poligami yang diterima LBH Jakarta dan angka ini cukup tinggi.”
Secara spesifik, aktivis perempuan mengkritik penayangan wawancara eksklusif di rumah eyang Subur oleh Global TV, program Just Alvin di Metro TV, Showimah di Trans TV dan berbagai program dialog maupun infotainment yang berorientasi pada peningkatan rating.
Sebelumnya, Klik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mengkritik beberapa tayangan televisi termasuk berita dan sinetron yang dianggap faktor di balik sebagian kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak.
‘Cover both side’
Media yang dituding para pegiat menampik mereka menyiarkan sorotan poligami dan perempuan secara berlebihan demi mengejar rating popularitas.
Pemimpin Redaksi Global TV Arya Mahendra Sinulingga, mengatakan penayangan berita tentang Eyang Subur di stasiun televisi yang diawakinya justru sangat negatif.
“Pemberitaan kita sangat negatif soal Eyang Subur, coba cek deh, kita malah banyak memberikan ruang bagi yang anti,” jelasnya ketika dihubungi BBC Indonesia.
“Inikan [berdasarkan] fakta, bukan menyuruh orang untuk melakukan poligami, faktanya dua pihak, ada yang melawan, ada yang mendukung. Kita cover both side saja,” tambahnya.
Sementara pemimpin redaksi MetroTV Putra Nababan mengatakan tak mau berkomentar soal ini.
“Buat apa proses redaksi proses segala macam diungkap. Saya tidak mengomentari apa-apa, kita kan wartawan tidak mengomentari apa yang sudah kita beritakan,” tukasnya.
Sumber : BBC