Search
Close this search box.

Pasung Jiwa; Sebuah Karya Peradaban

 

Okky Madasari (Foto: Hartoyo/Ourvoice)
Okky Madasari
(Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Ourvoice.or.id- Pasung Jiwa adalah novel teranyar dari Okky Madasari. Novel setebal 321 halaman ini menceritakan tentang kegetiran hidup seorang manusia  berpenis yang melawan nilai-nilai heteronormatif. Sebuah nilai yang mengagungkan seksualitas heteroseksual dan menihilkan bentuk atau ragam seksualitas lainnya.  Dalam rangka memperingati 15 Tahun Reformasi: Sastra dan Seni Untuk Pembebasan, buku Pasung Jiwa pun dibedah di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (UI), 29 Mei 2013.

Sebagai pembuka acara, penggalan novel Pasung Jiwa dibacakan secara dramatik oleh dua orang transjender, Anggun dan Jen Katleya. Setelah itu, novel ini diapresiasi dari sudut pandang sastra dan filosofi. Leon Agusta, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI, didaulat untuk  menilai buku ini dari sudut sastra sementara itu Tommy F.A.W., seorang filosof  yang mengaji pasung jiwa secara filosofis.

Menurut Tommy, banyak tema yang bisa diangkat ke tingkat filosofis dari novel Pasung Jiwa ini. Dia pun memulai penjabarannya dengan  penjelasan bahwa filsafat dimulai dari hal metafisik  yakni tubuh dan jiwa. Kemudian dia menyebutkan tokoh filsuf terkenal yakni Plato dengan pemikirannya tentang tubuh yang menyebutkan bahwa  tubuh adalah penjara jiwa. “Ketika menyadari kita bertubuh maka di saat itulah jiwa kita terpasung” ujar Tommy.

Tunggal Pawestri, Moderator- Leon Agusta, Narasumber-Tommy F.A.W. (Foto: Hartoyo/Ourvoice)
Tunggal Pawestri, Moderator- Leon Agusta, Narasumber-Tommy F.A.W.
(Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Bagian yang menarik bagi Tommy adalah ketika Sasana yang telah berubah menjadi Sasa  dianggap gila dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Karena itu Tommy pun menjabarkan pemikiran Foucoult tentang gila. “Kegilaan adalah wacana yang diwacanakan oleh institusi yang punya kuasa” kata Tommy.  Kemudian Tommy menjabarkan sejarah kata gila sejak abad pertengahan,  zaman rainassance dan era post-modern.  Di era sekarang, makna gila sudah semakin pluralis, karena wacana atau bahasa tidak lagi tergantung pada benda. “Di zaman ini tidak ada yang bisa menguasai kegilaan… Siapa saja bisa menuding Kamu gila.” ungkap Tommy.

Leon Agusta mengamati bahwa karya-karya Okky selalu meninggalkan ruang kosong dan hanya memuat suara korban saja. Leon  memberi contoh; penolakan  Ayah Sasana, alangkah baiknya pemikiran sang Ayah juga digambarkan dalam novel ini. Leon pun menilai karya Okky Madasari ini bukan sekedar karya sastra melainkan juga karya peradaban.  Bagi Leon, Terbitnya buku ini adalah momentum untuk membicarakan masalah dengan cara yang beradab. “Karya Okky memperlihatkan borok-borok peradaban Kita” ujar Leon.(Gusti Bayu)