Ourvoice.or.id- Isu seksualitas yang semakin menarik diperbincangkan belakangan ini membuat Departemen Sosiologi Universitas Indonesia (UI) merasa perlu membahasa pergerakan lesbian, gay, biseksual transjender, interseks dan queer (LGBTIQ) sebagai identitas dalam bingkai global. Hartoyo, sekretaris umum Our Voice, didaulat sebagai narasumber dalam kuliah ini, Kamis 30 Mei 2013. “Di kampus kurang dapat informasi tentang bagaimana pergerakan LGBT di luar” ungkap Lucia Ratih Kusuma Dewi, Dosen penangung jawab.
Dalam kesempatan ini, Hartoyo memberikan makalah yang menyajikan definisi-definisi terkait keragaman seksualitas. Hartoyo pun menjelaskan sejarah berdirinya Our Voice dan menjabarkan situasi pergerakan LGBT di Indonesia.”Gerakan LGBT masih sporadis, belum sistematis…. Mungkin karena isu seksualitas masih baru” ujarnya. Setelah itu Hartoyo menceritakan situasi pergerakan LGBT di tingkat global, menurutnya isu LGBT semakin menghangat. Hal ini dapat dilihat dari makin banyaknya negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Dia pun menilai isu LGBT menjadi indikator tingkat peradaban suatu negara,”Buktinya negara-negara yang mengkriminalkan homoseksualitas tidak pernah dengan bangga melaporkan di tingkat internasional berapa banyak homoseksual yang dihukum… Artinya negara-negara tersebut tahu bahwa menghukum warganya karena homoseksual adalah tindakan yang tidak beradab” jelas Hartoyo.
Tanggapan pertama datang dari Toto, Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana. dia mengakui secara pribadi bahwa bila dia melihat gay, dia merasa jijik. Dan dia pun menyebutkan bahwa pernikahan sejenis yang terjadi di Eropa adalah bentuk penyimpangan dalam agama. kemudian dia merumuskan masalahnya, menurut Toto, persoalannya adalah karena masyarakat tidak tahu. Dalam menjawab ini, Hartoyo dengan tegas menjawab bahwa Our Voice tidak akan memaksakan orang mengikuti pandangan Our Voice, “Jika rekan-rekan di sini mau membuat organisasi yang menentang LGBT silakan saja” ungkapnya.
Pertanyaan menarik datang dari Dini, Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana. Dia menangkap bahwa dalam relasi homoseksual mirip dengan konsep hetero,”Dalam makalah ini ada istilah top, sebagai yang maskulin dan bot yang feminim, bagaimana ini bisa muncul? Padahal pola seperti ini rentan terhadap ketidak-adilan jender? “ tanya Dini. Menjawab pertanyaan ini, Hartoyo hanya mengungkapkan bahwa karena kelompok homoseksual adalah bagian dari masyarakat, maka tidak bisa dipungkiri kelompok homoseksual pun mengadopsi nilai heteronormatif dari masyarakat yang saat ini masih sangat heteronormatif. (Gusti Bayu)