Ourvoice.or.id- Dua lembaga swadaya masyarakat (LSM), Senin (27/5), melaporkan bahwa tindak kekerasan di Aceh terhadap kelompok lain yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam semakin marak.
Juru bicara Komunitas Aceh untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama, Affan Ramli menjelaskan, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Aceh saat ini sangat buruk dan pemerintah tidak melakukan apapun untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pengabaian pemerintah atas masalah ini, menurut Affan menyebabkan persoalan itu meluas begitu cepat di Aceh.
Pemerintah, ujarnya, tidak menjamin hak-hak korban hingga belum ada satu kasus pun terkait tuduhan ajaran sesat dalam masyarakat yang diselesaikan melalui mekanisme legal.
Menurutnya sebagian besar kasus justru dieksekusi langsung oleh masyarakat dengan melakukan tindakan kekerasan dan juga pengusiran terhadap kelompok yang dituduh menyebarkan ajaran sesat. Untuk itu, dia meminta pemerintah dan kepolisian mengusut tuntas dan mengadili para pelaku kekerasan.
Affan mengatakan kasus kekerasan oleh kelompok intoleran ini salah satunya dipicu oleh adanya fatwa sesat yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh atas kelompok tertentu. Kewenangan MPU itu dimandatkan dalam peraturan daerah, atau qanun, tentang akidah ibadah dan syariat Islam, ujarnya.
“Umumnya yang menjadi sasaran sesat dari kelompok tasawuf, tarekat atau komunitas sufi. Harusnya masalah ini diselesaikan melalui Mahkamah Syariah atau Pengadilan Agama karena dalam pengadilan itu seseorang dapat diuji validitas datanya ketika mereka menuduh,” tambahnya.
“Ada pengujian mekanisme validitas data tetapi kemudian tidak dilakukan sehingga orang-orang (korban) tidak mendapat perlakuan yang adil dan kemudian dieksekusi oleh massa,” ujarnya dalam konferensi pers di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sejak 2011 hingga kini, ujar Affan, kasus semacam itu telah mengakibatkan sedikitnya tiga orang terbunuh di Plimbang, 10 orang mengalami luka-luka, puluhan wanita dan anak terintimidasi dengan kekerasan massa.
Beberapa kasus pengusiran dan tindak kekerasan terhadap orang-orang yang dituduh sesat, kata Affan, terjadi diantaranya di Ujong Pancu (Aceh Besar), Lamteuba (Aceh Besar), Suka Damai ( Banda Aceh), Guhang (Aceh BArat Daya), Nisam (Aceh Utara) dan Kuta Binjei Julok (Aceh Timur).
Kepala Divisi Hukum Politik dan HAM dari KontraS, Sinung Karto menyarankan agar pemerintah mengevaluasi peraturan daerah yang dapat memicu terjadinya tindakan intoleran di dalam masyarakat.
“Sebetulnya kita sendiri sempat mengajukan agar dievalusi tindakan-tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, memvonis dengan tindakan-tindakan. Kejadian itu terus berulang akhirnya menjadi semacam ‘tradisi baru’ melegalkan orang bertindakan di luar proses hukum,” ujarnya.
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat Dawam Raharjo mengatakan pemerintah tidak boleh mengontrol kebebasan beragama melalui peraturan yang ada.
“Melindungi kebebasan beragama agar agama ini berkembang dengan subur dan baik jadi jangan menghalang-halangi, negara tidak boleh mengontrol,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Human Rights Watch dalam laporannya menyatakan pemerintah Indonesia dinilai gagal melindungi pemeluk agama minoritas.
Sumber : VOA