Oleh: Aryawirawan Epifanes Ruben Simauw-Rau*
Pertanyaan yang paling menjijikkan selalu dilontarkan pada aku, “Maaf, mas Arya tidak menikah, suka pakai sarung dan peduli isyu Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender dan Queer (LGBTQ), karena mas Arya homo juga, ya?”. Pertanyaan ini sadisnya selalu ditanyakan di komunitas beragama yang harusnya memandang manusia sama di hadapan Allah. Dan jawaban saya selalu adalah, “Ada yang salah kalau saya homo?”, sambil berakting sebagai Banci Botak, Banci Bunting dan Banci Berkerudung. Yang ada malah semua tertawa. Seakan isyu ini hanyalah bahan tertawaan saja. Parah.
Kedekatan awal aku dengan isyu LGBTQ tidaklah dimulai dengan peristiwa yang indah. Tetapi, peristiwa yang harusnya menjadi trauma batin dalam hidupku. Tetapi, aku justru mengalami lawatan dan jamahan Tuhan yang dahsyat. Aku mampu untuk merubah ratapan menjadi tarian. Aku mampu merubah ketidakadilan dengan sikap untuk membela ketidakadilan yang dialami orang yang menyakitiku di awalnya.
Tahun 1975, aku tumbuh di keluarga Pendeta GPIB. Ayahku adalah tokoh penting di kalangan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Kami tinggal di Pejambon, di Kompleks Gereja GPIB “Immanuel”. Wilayah tempat aku bermain adalah sekitar gedung gereja itu. Di suatu siang yang panas, aku diajak bermain oleh seorang laki-laki muda yang aku kenal sebagai Mas Tono (bukan nama sebenarnya). Siang itu, entah kenapa tanpa rasa curiga aku mau diajak ke samping gedung gereja. “Kita main disana saja.”, katanya sambil mengangsurkan es mambo kesukaanku. Sambil minum es mambo, tiba-tiba Mas Tono mulai mengeluskan tangannya ke pahaku. Dan tak berapa lama, ia mulai memaksaku untuk telanjang dan mau menciumku. Aku dalam ketakutan berlari ke rumah dan bersembunyi di kamar. Aku takut sekali hari itu. Aku juga jadi takut bertemu Mas Tomo, sampai akhirnya aku dengar Mas Tomo tidak ada lagi di lingkunganku. Dan seiring berjalannya waktu aku pun melupakan peristiwa itu.
Tahun 1985, tahun kedua di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, aku dapat tugas menulis hasil riset dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Aku bingung mau ambil topik apa. Sehabis Ibadah Pemuda GPIB Immanuel, kami biasa kumpul bercanda di depan Gedung Pertemuan Immanuel. Dan malam itu, tiba-tiba aku tercerahkan di tengah suasana candaaan yang menyerang Ricardo (bukan nama sebenarnya). “Eh, banci. tadi doa elo ke Tuhan apa, nih? Minta cewek atau cowok jadi pacar elo?”, tanya seorang temanku sambil bercanda meledek. Ricardo menimpalinya, “Cowok ganteng kayak jij (kamu), lah”, celetuk Ricardo. Teman-temanku tertawa gaduh melihat temanku yang bertanya tadi mukanya merah. “Eh, banci. Orang kayak elo harusnya kagak ada sama kita-kita. Di Lapangan Banteng sono!”, celetukan yang sarat bercanda itu mulai terasa ada aura stigma. “Eh, ngaca dulu. Emangnya orak kayak gini dosanya lebih gede dari elo. Jij bisa-bisanya ngeledek eike (saya). Udah ah, mulai gerah gw. Mending gw mejeng di Lapangan Banteng. Daaaggggggg”, kata Ricardo sambil berlalu. Aku terpana.
Malam itu, aku merenungkan percakapan dan percandaan tadi. Aku dan Ricardo itu adalah teman. Dan dia pula yang membuatku tidak lagi takut terhadap kaum homo. Sikap lucu dan candanya menjauhkan gambaran burukku tentang homoseksual. Dan tadi ketika Ricardo diserang seperti itu aku bingung, mengapa aku tidak bisa membelanya. Esok harinya, aku mencari Ricardo ke rumahnya. Kita mengobrol di sebuah warung dan membicarakan isi hatiku. “Arwi, ketakutan elo 10 tahun lalu harusnya hilang sejak bertemu gw. Apa gw tipe sama dengan Mas Tomo. Kagak, kan? Mas Tomo pasti dulu nekad melakukan, karena dia korban ledekan kayak gw. Dan dulu dia pasti merasa terasing.”. Eureka! Akhirnya, aku bilang ke Ricardo, “Nanti malam gw mau ikutan elo mejeng di Lapangan Banteng. Gw mau observasi partisipatif disana”, kataku. Maka mulai malam itu aku melawan ketakutan pada kaum homoseksual dengan melakukan observasi partisipatif untuk tugas Bahasa Indonesia dan lahirlah tulisan berjudul ANAK TERASING.
Tahun berganti, keterlibatanku pada isyu ini semakin berkembang, dengan masuknya aku ke isyu Perempuan tahun 1989 dan AIDS tahun 1994 serta Anak di tahun 2000. Isyu yang saling kait mengkait ini menghantar aku pada sebuah keterlibatan panjang bersama Tali Ikatan Waria Tangerang pada tahun 2006. Hidup bersama di komunitas waria, mengajariku banyak hal. Dan yang paling mengharukan ketika mereka bilang ke aku, bahwa aku bukan saja membuat mereka terangkat harkat dan martabatnya. Tetapi, mereka bersyukur diberi pelajaran Public Speaking, Observasi, Kampanye, Mobilisasi, Advokasii dan Pengorganissasian Massa.
Hari ini, ketika aku bersama-sama dengan teman-teman LGBTQ merayakan Hari Internasional Melawan Homophobia, aku justru bersyukur bertemu dengan Mas Tomo dan Ricardo, yang mengajariku untuk merubah ketakutan menjadi keberpihakan, dan akhirnya membangun diriku untuk menerima orang apa adanya sebagai Mahluk Mulia Ciiptaan Tuhan.
Mas Tomo kini entah kemana. Ricardo sudah tiada. Tapi, kenangan dan pembelajaran dari hidup mereka membuatkku bisa tetap tegak berdiri sebagai seorang heteroseksual yang memiliki komitmen tinggi untuk melawan stigmatisasi, diskriminasi dan marjinalisasi terhadap homoseksual.
TUHAN MENCIPTAKAN MANUSIA SEPERTI TUHAN MENCIPTAKAN PELANGI. BERAGAM DAN BERWARNA-WARNI. JADI, MARI LAWAN KETAKUTAN TERHADAP KAUM HOMO! MEREKA ADALAH ANAK TERASING, ANAK CINTAAN TUHAN.
Dalam kenangan pada sahabatku, Ricardo. TIDURLAH DALAM DAMAI, BRO. Mampang Prapatan, 17 Mei 2013
*Pendiri dan Koordinator Umum Anjungan Seni Indonesia Raya