Ourvoice.or.id- Dengan kerangka hukum liberal, Afsel menjadi tempat tinggal pengasingan bagi banyak kaum gay Afrika yang terancam dianiaya di negara asal mereka. Namun tantangan tetap ada.
Beberapa pekan lalu, upacara pernikahan gay pertama yang menggunakan adat tradisional Zulu dilakukan di Afrika Selatan.
Tiwonge Chimbalanga disambut orang-orang ketika ia berjalan dengan bangga di lingkungannya di dekat Cape Town. Semua orang mengenalnya di sini. Tahun 2009, ketika masih tinggal di Malawi negara asalnya, Tiwonge adalah seorang perempuan transeksual, ia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena melakukan upacara pertunangan tradisional dengan seorang perempuan. Homoseksualitas adalah ilegal di Malawi, sama halnya di 37 negara lainnya di Afrika.
Dengan bantuan Amnesty International dan LSM Gender Dynamix di Afrika Selatan, ia memutuskan untuk pergi ke Afrika Selatan tahun 2011.
Tiwonge mengatakan ketika di Malawi, menurutnya Afrika Selatan merupakan tempat bebas bagi kaum gay. Jadi ketika ia sampai di Afrika Selatan, satu hal yang ia harapkan adalah kebebasan.
Di Afrika Selatan, homoseksualitas tidak hanya diperbolehkan, dan sudah bertahun-tahun kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Waria juga memiliki hak untuk menikah dan mengadopsi anak. Hingga kini, Afrika Selatan adalah satu-satunya negara di Afrika yang memberikan kebebasan tersebut.
Tapi tidak semuanya sempurna di negara yang menghargai kaum homoseksual itu. Bahkan, serangan-serangn terhadap kaum homoseksual masih sering terjadi. Tiwonge mengatakan masih banyak tantangan yang dihadapinya.
Tiwonge mengatakan kira-kira empat bulan setelah ia tiba, ia diserang dan dipukuli, uang dan paspornya dirampas. Dan baru-baru ini, ia ditusuk dari belakang oleh sekelompok orang Malawi.
Tetangga barunya, yang berasal dari Republik Konggo, ditendang keluar dari apartemennya dan dipukuli ketika pemilik apartemen menyadari penyewanya gay.
Perbedaan antara undang-undang dan realitas dalam masyarakat Afrika Selatan dapat dilibatkan dalam konteks bagaimana konstitusi Afrika Selatan terbaru dirancang, kata Noel Kututwa, direktur Amnesty International Afrika Selatan.
Setelah kekuasaan warga minoritas kulit putih berakhir tahun 90an dan partai Nelson Mandela mengambil alih kekuasaan, sebuah konstitusi baru dirancang dengan perhatian utama pada hak kesetaraan bagi semua orang, tanpa kecuali.
“Dan sebagai bagian dari perjuangan kebebasan, keadilan dan kesetaraan yang dialami Afrika Selatan, Kongres Nasional Afrika, yang dulu dipimpin oleh mantan presiden Nelson Mandela, perjuangannya didasarkan pada HAM,” kata Kututwa.
Kututwa mengatakan masyarakat homoseksual Afrika Selatan termasuk dalam konsep HAM itu, atau lebih tepatnya, tidak dikecualikan. Perdebatan tentang hak-hak mereka baru muncul kemudian, ketika konstitusi itu sudah diberlakukan (Emilie Lob).
Sumber : VOA