Ourvoice.or.id- Ada perbedaan yang jelas antara filsafat Barat dan filsafat Timur dalam memandang tubuh, seperti dipaparkan oleh Saras Dewi, narasumber kuliah umum Sejarah Seksualitas Dalam Agama Timur, bertempat di Our Voice, Minggu 21 April 2013. Dengan mengutip Foucault, Saras Dewi menjabarkan bahwa selama ini dunia Barat memandang tubuh dengan cara yang dangkal dan kaku. Tubuh dianggap hina. Tubuh dianggap hanya sebagai organ. Tubuh dipandang hanya sebagai alat untuk bereproduksi. Jadi, jika bicara tubuh perempuan maka yang paling penting adalah rahimnya, rahim untuk meneruskan keturunan. Jika bicara tubuh laki laki yang paling penting adalah sperma, juga untuk meneruskan keturunan. Sehingga tidak heran tubuh selalu dikontrol. Tubuh dikontrol oleh masyarakat, oleh agama, oleh negara, oleh siapapun yang memiliki kuasa. Sehingga tubuh individu bukanlah milik individu itu sendiri melainkan milik sosial. Peradaban Barat sudah memiliki pra-kondisi ini dalam memandang tubuh.
Sedangkan dalam filsafat Timur, tubuh dipandang memiliki hasrat yang tujuannya mencapai kenikmatan. Tubuh bisa menjadi sakral dan bisa menjadi profan. Tubuh menjadi sakral ketika tujuannya mencari persetubuhan yang agung. Sedangkan tubuh yang profan adalah ketika tujuannya hanya pemuasan nafsu sesaat. Dapat dilihat bahwa tubuh sakral yang dicari adalah proses estetisnya. Sementara itu dalam tubuh profan, hanya mengaggap tubuh sebagai alat. Filsafat Timur juga memandang manusia sebagai makhluk hidup yang berhasrat. Dan hasrat harus dipenuhi agar manusia menjadi bahagia. Jika tidak, manusia tidak bisa memahami dirinya sebagai subjek.
Dalam filsafat Barat, manusia dianggap memiliki akal atau rasio, maka segala sesuatu harus bisa dirasionalkan. Tetapi rasa, kenikmatan, gairah bukanlah sesuatu yang rasional. Sehingga filsafat Barat kesulitan memahami dan menjelaskan hal ini. Sementara itu, filsafat Timur selalu mengaitkan segala sesuatu pada rasa. Dalam filsafat Timur kenikmatan adalah bagaimana subjek menemukan dan mencari rasa. Lebih dalam mengenai filsafat Timur, Saras Dewi pun menjabarkan tentang Veda. Jika dirujuk dari asal kata, Veda berasal dari kata Vid yang artinya pengetahuan. Veda dibagi ke dalam dua bagian, yakni bagian Sruti (pewahyuan) dan bagian Smrti (tafsir), posisi Kama Sutra dalam Veda masuk dalam bagian Smrti, artinya Kama Sutra adalah bentuk penafsiran dari Veda yang menjelaskan secara filosofis tentang hubungan keintiman dan spiritualitas. Kama Sutra yang relatif paling dikenal adalah Kama Sutra yang ditulis oleh Vatsyayana pada abad dua masehi. Dalam Kama Sutra, seks bukanlah habituasi yang monoton dari manusia tetapi merupakan suatu proses seni yang alamiah dan agung.
Dalam Kama Sutra pula ada yang disebut sebagai auparishtaka, atau disebut juga ‘persetubuhan yang lain’. Vatsyayana menilai bahwa tubuh dapat mencapai kepuasannya bahkan di antara sesama jenis. Vatsyayana beropini bahwa pola relasi homoseksual dilarang hanya untuk orang yang bersumpah menjadi pendeta sedangkan untuk orang biasa diperbolehkan, karena ini masalah rasa, merasakan sangat berbeda dengan menalarkan rasa. Oleh sebab itu Vatsayana menganggap perbedaan opini akan pola relasi seksual adalah sesuatu yang lumrah, hal ini berkaitan dengan pola pikir masyarakat di daerah tersebut.
Dari penjabaran di atas, Saras Dewi menarik kesimpulan bahwa manusia harus mencapai cinta atau gairah untuk memuaskan tubuhnya. Karena tubuh merupakan penghubung manusia dengan sang Brahman yang menjadi sumber kebahagiaan. (Gusti Bayu)
Makalah lengkap: Seksualitas-dan-Agama-Saras-Dewi dan makalah ini akan ditebitkan oleh Jurnal Perempuan