Hartoyo*
Pemerintah melalui aturan sekolah melarang bagi anak yang telah menikah dan hamil untuk mengikuti ujian nasional (UN) di tahun 2013, hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, M.S sebagai Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI saat dialog di salah satu stasiun TV swasta, 14/4/2013.
“Aturannya memang sudah begitu adanya, pemerintah hanya menjalankan aturan yang sudah ada”, ungkap Wamen saat itu.
Alasan itu tentu dikritik keras oleh Arist Merdeka Sirait (aktivis Komnas Anak), kebijakan itu melanggar atau bertentangan dengan konvensi hak anak, tegas Arist. Pernyataan Arist sejalan dengan Badriyah Fayumi, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam siaran pers, Kamis (11/4/2013) untuk pihak sekolah mengizinkan anak yang “bermasalah” hukum tetap diikutkan UN.
Dalam UU No 23 Tahun 2002 pasal 9 ayat 1 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
Artinya dalam kondisi apapun hak pendidikan anak tidak dapat dikurangi bahkan dalam kondisi konflik maupun perang, pendidikan anak harus tetap disediakan oleh negara.
Alasan utama dari larangan anak yang menikah dan hamil untuk mengikuti UN dikarenakan anak dianggap melanggar aturan atau etika sekolah. Maka sanksinya dihilangkan haknya untuk mengikuti ujian nasional, itulah esensi yang diungkapkan oleh Wamen saat itu. Tetapi anak tersebut tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan seperti paket C, ungkap Wamen.
Kalau anak dianggap melanggar etika sekolah, tidak mestinya sanksi yang diberikan melanggar isi dari Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak dengan melarang anak ikut UN.
Pertanyaan selanjutnya kalau hamil dan menikah dini dianggap sebagai pelanggaran etika sekolah, apakah lembaga pendidikan telah memberikan pendidikan seksual-kesehatan reproduksi dengan baik kepada setiap siswa?
Tentu kita masih sangat ingat, Menteri Pendidikan M.Nuh pernah mengutarakan ketidaksetujuanya atas ide pendidikan diberikan kepada anak di sekolah.
“Soal seks setiap masyarakat tentunya akan memiliki pengetahuan secara alamiah tanpa harus ada yang mengajarkan. Jadi saya tidak setuju dengan keinginan pendidikan seks di sekolah,” kata M. Nuh yang ditulis dalam Antara.
Alasan lain dikuatirkan anak akan melakukan prilaku seksual yang seharusnya tidak dilakukan saat masih sekolah. Ironis sekali sebuah pendidikan untuk mengenal dirinya sendiri malah dipahami sebagai tindakan “tabu” untuk dibicarakan, tetapi ketika anak hamil dan menikah muda justru lembaga pendidikan menghukum anak dengan mengeluarkan dari sekolah ataupun tidak bisa mengikuti UN.
Mungkin semangat pemerintah baik, tujuan untuk mencegah anak menikah dini. Tetapi pernikahan dini ataupun hamil diusia muda banyak faktor yang meyebabkannya, kurangnya informasi tentang kesehatan produksi salah satu faktor utama. Selain tentu ada faktor sosial, ekonomi, budaya dan pandangan agama.
Anak yang paham tentang pendidikan sex maka semakin anak sadar akan tanggungjawab terhadap tubuhnya sendiri. Sehingga kurangnya informasi bagi siswa/i tentang kesehatan reproduksi mengakibatkan mereka hamil dan menikah muda. Bahkan tidak jarang ada yang harus terinfeksi virus HIV dan AIDS. Dalam kondisi seperti ini biasanya remaja perempuan, gay dan waria adalah kelompok yang paling rentan mengalami stigma dan diskriminasi.
Hasil penelitian Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dikutip media liputan6, bahwa “per tahun 2010 tercatat anak yang berhubungan seksual antara usia 10-14 tahun sebanyak 4,8 persen, usia 14-15 tahun sebanyak 41,8 persen dan usia 15-17 ada 42 persen.
Menurut Julianto Witjaksono selaku Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, bahwa kendala memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum masih dirasa belum bisa dijalankan. Sehingga yang dilakukan oleh BKKBN masih dalam pendidikan non formal untuk siswa SMU. Seperti pemberian penjelasan soal risiko-risiko kehamilan, terutama kehamilan di usia remaja diluar kurikulum pendidikan sekolah,” jelas Julianto.
Kalau pemerintah konsisten melindungi remaja untuk tidak hamil dan tidak menikah di usia muda, perlu disinergiskan dengan kebijakan-kebijakan lainnya, misalnya UU perkawinan. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sendiri membolehkan seorang anak dinikahkan atas izin orang tua. Bahkan usia pernikahan bagi perempuan 16 tahun, usia yang masih dalam kategori anak. Bahkan tidak jarang perkawinan pada anak perempuan didukung oleh orang tua maupun masyarakat karena faktor ekonomi untuk meningkatkan status sosial.
Persoalannya ternyata bukan terhenti pada larangan untuk sekolah dan ikut ujian saja, kebijakan di Indonesia juga melarang dan mengkriminalkan para pelaku aborsi, apalagi tidak dalam lingkungan perkawinan sah. Jika ada seorang anak perempuan hamil diluar nikah tetapi sang anak tetap ingin bersekolah dan tidak mau menanggungkan aib keluarga, maka sang anak tidak ada pilihan harus melakukan aborsi. Sedangkan di Indonesia sendiri tindakan aborsi sebagai sebuah tindakan illegal/kriminal. Sehingga dalam kasus-kasus seperti ini, resiko yang diambil sang anak perempuan bukan hanya nyawa (aborsi tidak aman) tetapi juga kriminalisasi sebagai pelaku pembunuh bayi. Dilematis!
Tentu kita prihati ketika anak harus meninggalkan bangku sekolah hanya karena mereka menikah muda atau hamil yang tidak diinginkan. Tetapi jika situasi yang sulit itu terjadi, negara, masyarakat mestinya tidak memberikan beban lagi pada sang anak. Kita tentu tahu bagaimana sulitnya anak perempuan yang sedang menempuh pendidikan dan hamil yang tidak diinginkan. Bukan hanya anggapan kehilangan masa depan tetapi stigma sebagai anak nakal, tidak bermoral akan dilekatkan oleh publik. Hal itulah yang selama ini ditanamkan dan dibuat dalam aturan sekolah-sekolah.
Setiap dari kita pasti punya pengalaman itu, teman-teman kita yang harus meninggalkan bangku sekolah karena hamil atau menikah muda. Mereka seperti “habis” harapan untuk menggapai cita-citanya melalui pendidikan formal. Hanya beberapa anak yang bisa lepas dari kesulitan itu, biasanya karena keluarga mendukung secara sosial maupun ekonomi.
Hal ini pernah diungkapkan Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan dan politikus dalam wawancara (14/4/2013), bahwa dirinya trauma dengan pengalaman sahabat-sahabat perempuannya ketika masih sekolah dasar yang dipaksa menikah muda.
“ Saya kalau melihat anak perempuan muda yang dinikahkan secara paksa seperti saya melihat kuncup bunga yang akan mekar tetapi diremas, dilumat dan dihancurkan sebelum berbunga”, ungkap Nur dengan nada gemas.
Menurut Nur Hidayati, koordinator Aliansi Remaja Indepeden (ARI), sebuah organisasi remaja yang mempromosikan hak-hak kesehatan reproduksi bagi remaja meyampaikan jika pemerintah berniat melindungi dan menyediakan hak pendidikan bagi setiap anak, maka pemerintah harus memberikan cuti hamil bagi anak perempuan yang hamil dan juga memfasilitasi dengan mudah surat pindah sekolah. Karena selama ini pihak sekolah asal selalu mempersulit surat pindah jika ada siswi hamil ingin meneruskan sekolah ditempat lain, ungkap Handa melalui telpon.
Jika melihat lebih jauh lagi, kalau pemerintah memang ingin serius menghentikan pernikahan dini dan hamil diluar nikah, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah memberikan pendidikan sex pada anak secara meyeluruh, melakukan perubahan batas umur dalam UU Pernikahan dan kemudian memberikan pendidikan publik secara terus menerus tentang hak-hak anak. Bukan memberikan sanksi mengeluarkan dari sekolah atau melarang ikut ujian UN.
Sanksi yang diberikan oleh pemerintah melalui aturan sekolah bukan malah meyelesaikan masalah bagi anak, justru semakin menempatkan anak-anak tersebut dalam posisi lebih buruk lagi. Pemerintah justru telah membunuh secara sistematis masa depan mereka untuk menggapai cita-cita. Itulah yang terjadi saat ini.
*Sekum Our Voice