Search
Close this search box.

[Foto] LBH APIK: Perlu Peradilan Khusus Untuk Kasus Keluarga

Narasumber seminar peluncuran kertas kebijakan peradilan keluarga terpadu (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Ourvoice.or.id –Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Indonesia mengusulkan perlu pengadilan khusus untuk penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hal itu disampaikan dalam  seminar dan peluncuran kertas kebijakan “Membangun Sistem Peradilan Keluarga Terpadu”  di gedung Mahkmah Konstitutusi, pada Senin pekan ini (29/4/2013).

Usulan ini didasarkan atas lemahnya penegakan UU KDRT dan aturan terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak selama ini, ungkap Nursyahbani Katjasungkana selaku koordinator nasional LBH APIK.

Dalam kertas kebijakan itu ada beberapa pokok-pokok pikiran dan rekomendasi LBH APIK pada pemerintah; 1. Perlunya pengadilan keluarga berorientasi pada penyelesaian masalah yang “memuaskan” para pihak sehingga tidak memerlukan waktu panjang, 2. Adanya pengadilan keluarga sebagai pengadilan khusus seperti yang ada pada peradilan anak, 3. Tidak perlunya hakim ad hoc dalam kasus keluarga tetapi perlu adanya peningkatan pelatihan dan standarisasi hakim yang berspektif gender dan HAM, 4. Adanya kewenangan peradilan khusus untuk penyelesaian perdata dan pidana, 5. Adanya prosedur hukum yang murah,cepat dan sederhana dengan mengintegrasikan layanan untuk korban, 6. Pengintegrasian UU PKDRT dalam setiap kasus-kasu keluarga.

Nursyahbani menjelaskan bahwa situasi ini didasarkan atas penelitian tentang KDRT yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti LBH APIK, Rifka Annisa, Kartini Asia Network, akademisi (UI), Komisi Yudisial dan catatan Komnas Perempuan.

Kemudian ditekankan kembali oleh Ratna Batara Munti yang menyatakan bahwa kasus-kasus KDRT ketika diajukan dipengadilan ada banyak masalah, khususnya impunitas para pelaku dan proses yang panjang membuat korban semakin jauh mendapatkan keadilan.

“Kita perlu peradilan khusus bagi para korban KDRT seperti pengadilan yang ada dalam kasus-kasus peradilan anak, ungkap Ratna selaku direktur LBH Apik Jakarta”.

Menurut Nursyahbani sulitnya korban KDRT dalam hal ini perempuan dan anak mendapatkan keadilan disebebakkan oleh beberapa faktor, diantaranya; budaya dan tafsir agama yang melegitimasi kekerasan, pihak Kementerian terkait (misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) belum maksimal menjalan mandat UU PKDRT, inkonsistensi hukum antara UU PDKRT dengan UU lain seperti UU Perkawinan, kemudian adanya dikotomi antara peradilan umum dan agama yang menjauhkan penyelesaikan kasus keluarga.

Kemudian fakta selama ini, korban (perempuan) lebih memilih untuk memutuskan perceraian saja (perdata) tanpa menlanjutkan kasus kekerasannya (pidana) disebbabkan proses hukum yang panjang dan juga faktor sosial,ekonomi korban. Sehingga itulah pentingnya sistem peradilan khusus tersebut, tulis LBH APIK dalam kertas kebijakannya.

LBH Apik memberikan beberapa contoh pengalaman di beberapa negara muslim  untuk penanganan kasus perempuan dan anak, seperti di Malaysia, Maroko, Iran, Bangladesh, Pakistan  sampai di negara-negara yang menerapkan hukum sekuler seperti Australia, Amerika Serikat, Canada dan Selandia Baru.

“Misalnya di Iran bagi pelaku yang menikahi anak akan dikenakan hukum penjara 6 bulan sampai 2 tahun, jelas Ratna”. Begitu juga di Amerika mempunya kebijakan khusus yang dinamakan Integrated Domestic Violence Court, ungkap Siti Aminah,SH (Peneliti ILRC) salah satu narasumber dalam seminar tersebut.

Seminar kali diikuti oleh 16 anggota federasi LBH Apik di seluruh Indonesia, pemerintah, aktivis hak-hak perempuan dan para korban kekerasan. Ada dua sesi dalam seminar tersebut, pertama pemaparan fakta di lapangan tentang kasus-kasus keluarga baik yang ada di LBH APIK maupun data pemerintah, kemudian sesi kedua solusi yang ditawarkan bagi pengambil kebijakan.

Setelah seminar dilanjutkan workshop dua hari untuk membahas persoalan kasus keluarga yang diikuti oleh para pengacara, pendamping dan korban kekerasan dalam rumah tangga di hotel Ibis Jakarta. Terus berjuang untuk keadilan perempuan dan kemanusiaan. (Hartoyo)