Search
Close this search box.

[Foto] Dewi Kanti: Mengingatkan HKBP Untuk Toleran Pada Umat Parmalim

Nike (Syiah) bersama tokoh agama Kristen berjabatan tangan saat aksi jalan kaki menuju Gedung MPR RI, Senin, 8/4/2013. (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Ourvoice.or.id – Dewi Kanti, perwakilan dari penghayat kepercayaan mengingatkan kepada Sekjen HKBP Pdt Mori Sihombing MTh, bahwa kelompok Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga harus memberikan kebebasan mendirikan rumah ibadah kepada agama Parmalimyang ada di Sumatera Utara, ungkap Kanti saat audiensi aksi Solidaritas Forum Rohaniawan (SFR) Se-Jabodetabek di Gedung Nusantara IV, Senin, 8/4/2013.

Pernyataan Kanti tersebut langsung sontak mendapatkan respon dukungan dari peserta aksi 400 orang yang umumnya adalah pendeta HKBP.  Dewi Kanti sepertinya ingin mengingatkan pemerintah (dalam hal ini MPR RI) dan publik umumnya bahwa bangsa ini dibangun atas perbedaan agama, suku dan perbedaan lainnya, bagaimana kita bisa hidup berdampingan satu sama lain tanpa harus saling menindas.

Menurut Kanti, penghayat kepercayaan dan agama lokal selama ini mengalami diskriminasi dan kekerasan secara sistematis yang dilakukan oleh pemerintah, mestinya pengalaman apa yang kami alami tidak lagi dialami oleh saudara-saudara kita yang beragama Islam, Kristen, Khatolik atau lainnya, ungkap Kanti dihadapan Ketua dan anggota MPR RI yang langsung mendapatkan sambutan tepuk tangan dari peserta aksi.

Audiensi ini merupakan rangkai kegiatan aksi SFR Jabodetabek yang melakukan jalan kaki dari Taman Ria-Senayan menuju Gedung DPR-MPR RI. Sebelumnya peserta aksi hanya bisa melakukan orasi diluar gedung tetapi melalui lobby akhirnya semua peserta aksi dapat bertemu dengan ketua dan anggota MPR RI.

Taufiq Kiemas selaku ketua MPR “berjanji” akan membawa persoalan ini dalam rapat-rapat dengan pemerintah sebagai peyelenggara negara. Kiemas menegaskan bahwa burung Garuda memegang erat Bhinneka Tunggal Ika, yang secara tegas bahwa kebebasan beragama mutlak harus dipertahankan, ungkapnya.

Aksi ini sebagai respon atas dirobohnya gereja HKBP di Bekasi dan pelarangan gereja GKI Yasmin di Bogor. Selain itu juga aksi-aksi kekerasan atas nama agama seperti yang dialami oleh kelompok Ahmadiyah, Syiah maupun penghayat kepercayaan masih terus terjadi.

Ada beberapa pernyataan yang dituliskan dalam siaran pers FSR diantaranya ; mengingatkan kepada pemerintah untuk menjunjung tinggi konstitusi tentang kebebasan beragama, menindak tegas para pelaku kekerasan atas nama agama, menghapuskan SKB 2 Menteri tentang aturan pendirian rumah Ibadah.

Hari itu, semua bersatu dari berbagai latar belakang agama, suku, aliran, orientasi seksual dan berbagai perbedaan lainnya bertemu dengan anggota MPR RI untuk mempertanyakan komitmen wakil rakyat terhadap Ke-Bhinnekaan.

Menurut penulis, ada yang paling penting menjadi refleksi, saat kita tidak ingin disakiti maka jangan meyakiti pihak lain, itu modal dasar dalam berbangsa dan bernegara.  Ungkapan ini mungkin tepat apa yang disampaikan oleh Dewi Kanti kepada Sekjen HKBP tentang hak umat Parmalin mendirikan rumah ibadah di Sumut.

Penulis sendiri tidak tahu bagaimana sikap para peserta aksi, khususnya Rohaniawan tentang tindakan stigma dan diskriminasi bagi kelompok homoseksual, biseksual dan Waria.  Sekjen HKBP dalam acara tersebut membacakan sebuah surat dari seorang pendeta di Jerman yang mati atas kekejaman Nazi, isi suratnya tentang ketidakpedulian sang pendeta pada pihak yang mengalami diskriminasi dan kekerasan.

Kira-kira semangat surat itu selain bisa menjadi refleksi anggota MPR RI untuk peduli pada persoalan kebebasan beragama tetapi juga refleksi bagi kita semua dalam beragama.

Apakah kita akan memberikan kebebasan pada orang lain untuk menentukan orientasi seksual mana yang baik untuk dirinya tanpa memberikan stigma dan prasangka? Apakah kita akan menggunakan cara yang sama yang dilakukan kelompok intoleransi ketika kita bicara soal hak-hak kelompok homoseksual? Inilah saatnya keberagamaan dan kebangsaan kita diuji. (Hartoyo)