Ourvoice.or.id – Polemik diseputar izin pendirian tempat ibadah kembali mencuat ke permukaan, setelah Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bekasi membongkar Gereja HKBP Tamansari di Kabupaten Bekasi, dengan alasan tidak mengantongi izin. Bonar Tigor Naipospos, peneliti lembaga pemerhati hak asasi manusia, Setara, menyatakan, terulangnya kembali kasus pembongkaran, penyegelan, atau pelarangan pendirian gereja, tidak terlepas dari adanya peraturan bersama dua menteri tentang ijin pendirian rumah tempat ibadah.
“Peraturan bersama dua menteri nomor 8 nomor 9 (tahun 2006) tentang pendirian tempat ibadah memang harusnya tidak ada,” kata Bonar Tigor, dalam jumpa pers bersama pimpinan PGI, perwakilan pimpinan Gereja HKBP, serta aktivis kebebasan beragama, Jumat (22/03) siang, yang juga dihadiri wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan.
Dalam jumpa pers itu, mereka mengutuk aksi pembongkaran gereja HKBP Tamansari, dan menganggapnya sebagai bentuk pelecehan kemerdekaan beragama.
Mereka kemudian menuntut agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan langsung untuk menyelesaikan kasus ini.
Namun menurut Bonar, persoalan yang tidak kalah penting adalah meninjau keberadaan peraturan tentang izin pendirian tempat ibadah tersebut.
Ditentukan orang lain
“Coba bayangkan, kebebasan beragama yang merupakan kegiatan individu, (harus) ditentukan oleh orang lain!” tegas Bonar di hadapan wartawan.
“Anda ingin beribadah, tapi Anda harus ijin terlebih dulu dari 60 orang. Ini ‘kan gila,” tandas Bonar.
Menurutnya, pendirian tempat ibadah di seluruh dunia yang beradab adalah berdasarkan tata kota, bukan dilatari faktor lain.
“Kalaupun ada penolakan (dari penganut agama lain) harus dilakukan mediasi oleh pemerintah, bukan membongkar,” katanya, lebih lanjut.
Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 menyebutkan, pendirian tempat ibadah antara lain harus didukung masyarakat setempat, yaitu paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh pimpinan desa setempat.
Peraturan inilah yang sejak awal dikritisi pegiat HAM, karena dianggap membelenggu kekebasan beribadat atau beragama. Peraturan ini pula yang disebut sebagai penyebab aksi-aksi penyegelan, pengrusakan, serta pembongkaran tempat ibadah yang terjadi di belakangan di sejumlah daerah.
Jalan terbaik
Kementerian Dalam Negeri, menurut kepala pusat penerangan Reydonnyzar Moenek, menyatakan, keberadaan peraturan izin pendirian tempat ibadah, merupakan hasil kompromi yang dilakukan seluruh pimpinan umat beragama.
“Itu ‘kan sudah merupakan hasil kesepakatan para pihak (pimpinan seluruh umat beragama), termasuk forum kerukunan umat beragama,” kata Reydonnyzar, saat dihubungi BBC Indonesia melalui telepon, Jumat (22/03) sore.
Dia berharap, kesepakatan itu harus sama-sama dihormati semua umat beragama. “Bahwa ada persyaratan, termasuk ada persetujuan 60 orang warga setempat, itu sudah melalui kajian yang betul-betul harus dipenuhi,” jelasnya.
Menurutnya, persyaratan ini berlaku untuk semua umat beragama, termasuk umat Islam di manapun mereka berada. “Itu juga berlaku bagi (umat) Muslim, yang harus memenuhi persyaratan itu, yaitu harus mendapat persetejuan masyarakat setempat,” kata Reydonnyzar.
Karena itulah, Reydonnyizar menyatakan, peristiwa pembongkaran bangunan gereja HKBP Tamansari di Kabupaten Bekasi bukanlah persoalan kebebasan beragama.
“Jadi, jangan dibolak-balik, seolah-olah tidak ada kebebasan beragama,” tandasnya.
Sumber : BBC | Indonesia