Search
Close this search box.

Narasi Roro Mendut: Dekonstruksi Mitos Seksualitas, Keperawanan dan Perkosaan

Oleh: Dewi Candraningrum*

Sebagai seorang gadis rampasan, Roro Mendut menolak dijadikan selir kesekian dari Panglima Besar Mataram. Sebagai gadis pantai, Roro Mendut terlalu berani menolak kemapanan dan kehidupan yang nyaman. Dia adalah perlambang dari sebuah kemandirian perempuan yang tiada takut pada kepapaan, kemiskinan, bahkan kelaparan. Dia adalah perempuan yang tak gentar mengatakan tidak. Tak gentar melawan represi sistemik patriarki yang menjebloskan dia ke dalam penjara keputren demi ritual seks para pemiliknya.

Tak ragu memilih dan meminang lelakinya sendiri. Tak gamang menghapus mitos keperawanan yang terlalu dipuja teman-teman sebayanya. Tak takut melawan tindak perkosaan yang sewaktu-waktu mengintai. Dia mengendalikan sendiri seksualitasnya. Dia tak takut mengendarai tubuhnya. Dia mengklaim hampir seluruh petak-petak tubuhnya. Dia adalah sebuah narasi yang meruntuhkan mitos patriarki, yang pernah dimiliki Indonesia sejak abad ke-17. Yang pelan terkubur. Dan kemudian narasinya tak diingat kembali.

Pronocitro berbisik tak habis heran, “Terpilih oleh istana, bukankah itu anugerah impian setiap gadis rakyat?”
“Terpilih? Mas Prono, saya selalu iri hati pada lelaki. Mereka dapat memilih”.
“Memilih atau memaksakan kehendak?”

Mendut tersenyum. Ada yang ingin ia katakan tetapi ragu-ragu. Akhirnya, mata terkatup ia berbisik, “Pronocitro, aku orang terus terang. Kau tidak marah aku memilihmu?”
(Mangunwijaya, 1983:320-1)

Sebagai cerita rakyat klasik yang merupakan bagian dalam Babad Tanah Jawi dengan menggunakan teks Jawa Kuno, kisah ini pada pandangan pertama, tampak seperti sebuah tragedi cinta seorang perempuan dari Kadipaten Pati, pada seorang laki-laki, yang kemudian menjadi gagal karena menjadi selir rampasan pada era Sultan Agung, Kasultanan Mataram Jawa. Dengan latar pergundikan Jawa pada saat itu, tak urung Adipati Pragola dari Pati dan Tumenggung Wiraguna, tak ada yang tak kepencut dan kepengin menjadikannya konkubin.

Bukan Roro Mendut, jika tak berhasil mematahkan hati laki-laki. Semuanya tertolak, dengan rasa malu yang telak. Wiroguno yang tertolak menghisap musuhnya tersebut dengan meminta setoran pajak tinggi. Sejak saat itulah, Mendut memaksimalkan caranya menelikung patriarki. Mengeksploitasi seluruh daya cantiknya, dengan ludahnya, menjilati lintingan rokok-rokok dagangannya, dan menjualnya dengan harga fantastis. Pada kali kedua, dia tidak terkalahkan. Menekuk kuasa patriarki sampai benar-benar tunduk pada ludahnya. Pada bibirnya.

Kita perlu berterima kasih pada YB Mangunwijaya yang telah mendokumentasikan rokok lintingnya ini dalam sebuah novel trilogi sejarah yang ditulis dari tahun 1983 sd 1987 dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama: Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri. Erotisme dinarasikan dalam wajah verbal yang tidak vulgar, tetapi penuh keberanian, keberingasan dan humor. Sebagai salah satu pusaka nusantara, Roro Mendut merupakan cikal bakal bagi eksplorasi industri rokok abad ke-21 ini dalam menjual dan mengeksploitasi citra perempuan. Meskipun citra laki-laki tangguh, cool, dan keren lebih banyak menghiasi iklan audio-visual, tetapi erotisme perempuan yang takluk kepadanya, masih dapat dijumpai dalam banyak iklan rokok.

Apa yang terjadi lebih dari tiga ratus tahun lalu, sekarang direpresentasikan secara terjungkal. Perempuan yang mandiri dan menolak bantuan lelaki tak lagi bisa dijumpai dalam banyak iklan. Hampir seluruh iklan yang memasang wajah perempuan, kebanyakan, menarasikan, mereka yang submisif dan manut. Manut pada produk pemutih. Manut pada produk susu. Manut pada produk mi cepat saji. Manut pada produk-produk kosmetik. Dan lain-lain. Perempuan-perempuan dalam iklan adalah perempuan-perempuan yang tenggelam dan ditenggelamkan kapital. Perempuan yang manut pada rasa takut! Para perempuan tak lagi mendut.

Mendut dalam bahasa Jawa adalah mengambang, menggelombang. Dia tidak tenggelam. Tidak menenggelamkan dan ditenggelamkan. Dia mengombak tabah. Dia mengatasi apa-apa yang di bawahnya, apa-apa yang di atasnya. Demikian pemilik nama sang Roro yang tak bisa ditenggelamkan oleh seorang Panglima Tentara. Dia adalah narasi yang meruntuhkan keperawanan sebagai “naskah segala” bagi perempuan. Keperawanan hanyalah mitos yang diperbaharui untuk menakut-nakuti anak-anak perempuan. Dari mitos keperawanan ini, seluruh rasa takut anak-anak perempuan diterbitkan, dicetak-ulang, dan diperjualbelikan dalam unit-unit keluarga dan institusi-institusi pendidikan dari tingkat usia dini hingga universitas.

Banyak sekali anak-anak perempuan yang menjadi korban perkosaan menjadi takut, ditakuti, menakuti, penakut, karena menganggap bahwa dirinya telah kehilangan seluruh dokumen diri yang paling berharga. Roro Mendut, sedari dini, sudah mengajari: “Jika engkau diperkosa, engkau hanya terluka sedikit saja. Dan kehormatanmu, harga dirimu, jati dirimu, masih utuh. Engkau bukan perempuan bekas. Engkau perempuan utuh. Engkau tidak perlu takut. Engkau adalah mendut”.

Solo, 17 Maret 2013

*Aktivis Perempuan Dan Dosen Universitas Muhammadiyah Solo