Search
Close this search box.

 

Ilustrasi : Dok.Ourvoice/yatnapelangi

Ourvoice.or.id- Sampai dengan tahun 2013 tidak kurang ada 282 Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat dikriminatif terhadap perempuan, ungkap Yuni Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan, dalam sambutannya di acara  diskusi publik, selasa, 26 Maret 2013. “Pertemuan pagi ini adalah rangkaian panjang untuk menggagas peradilan terbuka Judicial Review  di Mahkamah Agung” ujar Chuzaifah.

Dalam diskusi publik ini, Komnas Perempuan mengundang Asfinawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta periode 2006-2009,  dan Profesor Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai naraumber. Tidak lupa, mewakili Komnas Perempuan, Kunthi Tridewiyanti sebagai pembuka memaparkan data kekearasan terhadap perempuan sampai dengan tahun 2013,”66% adalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),  34 % kekerasan dari komunitas dan 41 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Negara” ungkap Kunthi.

Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah membuka acara diskusi publik 26/03/2013. (foto.dok.ourvoice/yatnapelangi)
Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah membuka acara diskusi publik 26/03/2013. (foto.dok.ourvoice/yatnapelangi)

Pokok pembicaran dalam diskusi publik ini adalah bagaimana membuat proses  Judicial Review menjadi terbuka untuk publik. Selama ini, Judicial Review (JR) menjadi masalah karena tidak transparan dalam proses pengambilan putusan oleh Makhkamah Agung (MA). Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat  (LSM) mitra Komnas Perempuan yang berusaha mengajukan JR terhadap  perda dikriminatif namun kalah di tingkat MA dan tidak tahu mengapa tuntutan mereka tidak dimenangkan oleh MA. “Mengajukan JR ke MA seperti menulis surat untuk lelaki yang Kita sukai dan Kita taruh di laci, Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan surat itu, tiba tiba saja ditolak.” Ujar  Asfinawati.

Pembicara dalam Diskusi Publik : Kunthi Tridewiyanti, Profesor Sulistyowati Irianto, Asfinawati (foto :dok.ourvoice/yatnapelangi)

Profesor Sulistyowati Irianto, menjabarkan bahwa hukum itu powerful(kuat) yang digunakan untuk mengkontruksi identitas individu, dan kemudian dia pun menjelaskan bahwa hukum adalah teks yang multitafsir. Sehingga ada peluang untuk menghapus produk regulasi yang diskriminatif terhadap perempuan,”Di konstitusi enggak ada ceritanya perjuangan Kita enggak bisa” tegasnya.

Salah satu alternatif jalan melawan Perda diskriminatif terhadap perempuan adalah dengan melakukan mekanisme pengaduan konstitusi (constitutional complaint). Dikutip dari laporan hasil penelitian Erna Ratnaningsih, pengaduan konstitusi adalah pengaduan yang diajukan oleh perorangan ke mahkamah kontitusi (MK) terhadap perbuatan atau kelalaian  suatu lembaga publik yang mengakibatkan terlanggarnya  hak hak dasar atau hak hak konstitusional orang yang bersangkutan. (Gusti Bayu)