Ourvoice.or.id- “it may be true that the law cannot make a man love me, but it can keep him from lynching me, and I think that’s pretty important.” (“Mungkin saja benar bahwa hukum tidak dapat membuat seseorang mencintai saya, tetapi hukum dapat melindungi saya, agar orang-orang tidak beramai-ramai membunuh saya, dan saya pikir bahwa yang penting adalah hukum memang sesuatu yang sangat menyenangkan.” Dr Martin Luther King, Jr, American clergyman and cCivil right leader)
Mengawali tulisan penulis, sebelumnya penulis ingin mengucapkan Selamat atas terpilihnya Sang Guru Besar dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang terpilih menjadi Hakim di Mahkamah Konstitusi dengan memperoleh 46 suara dari Komisi III DPR RI. Seorang mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, pernah dicalonkan menjadi Menteri Hukum dan HAM periode 2009-2014 di massa kepemimpinan SBY- Boediono namun kalah bersaing dengan Patrialis Akbar, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Dosen pengajar Politik Hukum yang sangat pintar, bijaksana dan humoris.
Begitulah perjalanan singkat yang penulis ketahui selama ini ketika mengenal beliau di lingkungan Universitas Diponegoro. Suatu hal yang sangat dibanggakan, seorang dosen yang sangat senang diajak diskusi mengenai permasalahan hukum di negeri yang kian melupakan Pancasila telah menjadi Hakim Konstitusi. Dan hal demikian pula yang menjadi bahan ujian bagi Prof. Arief Hidayat saat ditanya oleh salah satu anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun mengenai permasalahan Hak Asasi Manusia yang sering sekali menjadi persoalan dasar bagi masyarakat Indonesia.
Dimana isi pertanyaan Adang Daradjatun yakni “Masalah hak asasi, di mana saudara memandang hak asasi yang terkena atau menjadi korban dan menegakkan hukum tapi berdampak melanggar hak asasi?”, demikianlah pertanyaan yang diberikan Adang Daradjatun kepada Prof. Arief Hidayat di saat tes dan propertest di Komisi III DPR RI.
Dan Prof. Arief Hidayat menanggapi akan pertanyaan Adang Daradjatun dengan menyatakan bahwa “hak asasi yang harus diperjuangkan di Indonesia adalah hak asasi yang partikular bukan hak asasi yang universal”. Dan Prof. Arief Hidayat mengambil satu contoh mengenai perkawinan sesama jenis yang memang merupakan bagian dari hak asasi manusia secara universal. Namun, persoalan mengenai perkawinan sesama jenis sangat tidak tepat dilakukan di negara religius, negara memiliki norma dan budaya seperti Indonesia.
Dan penulis sangat sepakat akan hal yang dikemukakan oleh Prof. Arief Hidayat, ketika berbicara mengenai Hak Asasi di Indonesia dimana harus meletakkan dalam konteks Indonesia yang bersifat partikular bukan yang universal. Dimana tidak bisa seorang laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan kawin sesama jenis dan sampai saat ini pun baik dari kalangan agama, budaya dan hukum menentang kehadiran perkawinan sesama jenis di Indonesia tersebut.
Berbicara mengenai hak asasi yang tidak dapat berdiri sendiri dan dalam hal penegakan hak asasi yang juga harus dijalankan berdasarkan nilai Ketuhanan dan Pancasila. Dimana HAM yang tidak dapat berdiri sendiri, harus diletakkan dalam konteks, kita punya hak namun orang lain pula punya hak yang harus kita perhatikan dan diselaraskan dengan nilai-nilai Ketuhanan dan Pancasila.
Kita Punya Budaya dan Pancasila
Dan hal inilah yang menjadi suatu hubungan dengan surat Hartoyo dari Binjai, Sumatera Utara yang dimuat L.G.B.T News Portal pada tanggal 6 Maret 2013 yang berjudul “Surat untuk calon Hakim MK- Bapak Arief Hidayat”. Dimana saudara Hartoyo yang merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang merupakan pecinta sesama jenis (gay) yang pernah mendapat hujatan dan penyiksaan pada tahun 2007 di Aceh oleh pihak kepolisian dan masyarakat dikarenakan memadu kasih dengan sesama jenis.
Saudara Hartoyo yang dalam tulisan tersebut mempertanyakan kepada Prof. Arief Hidayat “ Apakah kami tidak berhak meminta kepada negara untuk hidup tenang dan damai bersama pasangan sejenis, seperti yang didapat oleh heteroseksual selama ini?” Penulis berpendapat bahwa berbicara mengenai perlindungan yang merupakan tujuan dari negara Indonesia sebagaimana yang termuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 memang harus didukung dan dijunjung tinggi seperti yang dialami oleh saudara Hartoyo.
Namun yang menjadi persoalannya adalah bahwa hubungan sesama jenis masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia yang memiliki agama, budaya dan hukum. Dimana hukum yang untuk melindungi masyarakat, itu sendiri lahir dari budaya masyarakat Indonesia. Dimana suatu aturan barulah dapat dikatakan aturan hukum jika berlakunya memperoleh legitimasi oleh suatu pemerintah.
Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm (Norma dasar negara) yang melandasi segala peraturan di bawahnya. Dan disamping itu, Indonesia juga memiliki hukum adat yang berlaku adalah yang diakui berlakunya oleh pemerintah, demikian dengan hukum Islam. Keduanya, baik hukum adat maupun hukum Islam yang bukan merupakan produk pemerintah akan tetapi diakui sebagai aturan hukum yang berlaku dan akan menjadi hukum apabila diakui oleh pemerintah.
Kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak jenis norma yang bekerja secara bersama-sama seperti norma adat istiadat, moral, agama dan hukum yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Dimana di dalam masyarakat yang tradisional diantara norma-norma tersebut belum tampak kesenjangan yang besar.
Dan hal demikianlah yang harus menjadi perhatian bagi kalangan pecinta sejenis yang kian menjalar di segala penjuru negeri ini seperti yang dikemukakan saudara Hartoyo dalam tulisannya. Ketika saudara Hartoyo akan memperjuangkan haknya untuk dilindungi, maka itu memang sudah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada warga negaranya.
Namun, apabila berbicara mengenai pengesahan dan diakuinya hubungan sesama jenis di Indonesia, harap menunggu dulu dan mencoba melihat kembali dari berbagai sisi-sisi tersebut, baik hukum, agama dan adat istiadat. Dan seperti yang penulis sampaikan bahwa, Indonesia yang memiliki adat istiadat dan menegakkan Hak Asasi Manusia sangat berbeda dengan negara-negara lain yang mengakui sebagai negara Hak Asasi. ***
Oleh: James Marihot Panggabean, S.H.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Anggota Satjipto Rahardjo Institute.
Sumber : analisadaily.com