Ourvoice – or.id Rektor Universitas Gadja Mada-Yogyakarta, Prof.Dr Pratikno akan mempertimbangkan penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kebijakan “affirmative”bagi calon mahasiswa yang berasal dari kelompok marginal, seperti Waria maupun masyarakat adat.
Hal ini diungkapkan ketika menjadi narasumber dalam kegiatan “Sekolah Pluralisme Kewargaan 2013” (SPK), Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) di Hotel University Cub,Yogyakarta,Rabu,20/2/2013.
Menurut Pratikno, dirinya akan mempertimbangkan usulan dari pertanyaan peserta SPK-CRCS-UGM yang menanyakan bagaimana kelompok marginal seperti Waria,masyarakat adat, diffabel dapat masuk ke UGM tanpa melalui jalur persaingan yang bebas atau “normal” seperti biasa.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa mahasiswa UGM bukan hanya mempertimbangkan perwakilan daerah, suku, agama saja tetapi juga mempertimbangkan identitas-identitas lain, seperti orientasi seksual dan identitas gender.
Jumlah mahasiswa UGM sendiri secara total sekitar sekitar 58.000 orang dan setiap tahunya menerima sekitar 8.000 an mahasiswa, ungkap Pratikno. Selama ini dari total mahasiswa didorong oleh kementerian pendidikan untuk dapat menerima 50 persen berasal dari mahasiswa undangan dari perwakilan seluruh Indonesia. Tujuan untuk untuk menjadikan UGM sebagai universitas bervisi nasional bukan kedaerahan, ungkap Pratikno.
Konsep kebangsaan bagi UGM ini sesuai dengan sejarah pembentukannya yang memang didesign oleh Hamengkubuwono IX kampus UGM sebagai tempat belajar bagi seluruh putra-putri daerah di Indonesia, jelas Pratikno.
Karena selama ini kebijakan kompetensi pemerintah membuat mahasiswa UGM yang diterima tidak merata dari seluruh Indonesia, alasan inilah untuk membuat kebijakan sistematis bagaimana dapat menerima calon mahasiswa dari seluruh Indonesia dengan cara memberikan pintu masuk “khusus” bagi siswa dari daerah.
Tentu tujuan alasan kebijakan ini untuk membangun nasionalisme mahasiswa UGM tentang kebangsaan, bagaimana antar mahasiswa bisa saling belajar perbedaan dari suku, agama, etnis dan identitas lainnya dari siswa lainnya, jelas Pratikno.
Makanya mulai tahun ajaran 2012/2013, UGM menerapkan sistem pengenalan kampus melalui konsep multikulturalisme, yaitu dengan cara seluruh mahasiswa akan digabungkan dari berbagai fakultas untuk mengenal satu sama lain, baik perbedaan jurusan, suku maupun agama, jelas Praktikno. Tidak lagi langsung mahasiswa dimasukan ke fakultas masing-masing, tetapi harus mengenal satu sama lain dari antar fakultas. Selain itu perlombaan-perlombaan olah raga atau kegiatan lainnya juga akan didesign berdasarkan angkatan bukan berdasarkan fakultas, jelasnya.
UGM juga membuat kebijakan yang membolehkan fasilitas seperti Gedung Kebudayaan dapat digunakan dalam ajang penampilan seni dan budaya secara gratis oleh publik, ungkap Praktikno.
Praktikno juga menyampaikan bagaimana kampus, dalam hal ini UGM harus bisa menjadi ruang yang aman untuk membangun dialog dari berbagai isu, tidak ada rasa takut dari pihak manapun. UGM secara kelembagaan harus berani mengambil sikap itu, tegasnya. Pratikno memaparkan ini belajar dari kasus pembubaran diskusi Irshad Manji yang di selenggarakan oleh CRCS UGM tahun lalu.
Harus diakui UGM memang salah satu kampus yang membolehkan mahasiswa yang berbeda identitas gender seperti Waria untuk bisa berkuliah dengan identitasnya apa adanya. Misalnya Shuniyya ruhama seorang transgender yang pernah studi di Sosiologi UGM dengan selesai berpredikat cumlaude.
Kita tentu berharap rencana rektor ini dapat terealisasi segera,sehingga yang mendapatkan affirmative bukan hanya sebatas perwakilan daerah dan orang miskin secara ekonomi saja tetapi juga mempertimbangkan kelompok-kelompok yang “tersembuyikan”, seperti kelompok Waria, Gay, Lesbian, masyarakat adat, perempuan korban perkosaan, korban pernikahan dini, diffabel, korban traffiking untuk dapat kuliah di UGM melalui jalur penerimaan khusus. Sehingga mandat Undang-Undang bahwa pendidikan hak setiap orang dalam identitas dan situasi apapun dapat dimulai dari kampus ini,UGM. (Hartoyo)