Search
Close this search box.
Sejumlah perempuan yang tergabung dalam aksi unjuk rasa menentang pelecehan seksual di Kairo, Mesir, meneriakkan slogan-slogan. (EPA)

Ourvoice.or.id. Masyarakat Mesir yang konservatif kembali terguncang dengan munculnya kesaksian publik yang diungkapkan oleh sejumlah perempuan yang diduga menjadi korban pelecehan seksual dalam beberapa unjuk rasa antipemerintah di Kairo.

Pada Rabu, kasus itu menarik perhatian menyusul iring-iringan ratusan aktivis di Kairo yang meneriakkan tuntutan agar pemerintah mengakhiri kekerasan seksual terhadap perempuan. Mereka juga meminta Amnesty International mengeluarkan laporan yang dapat mendesak Presiden Muhammad Mursi mengambil langkah terhadap masalah ini.

Pemerkosaan massal serta serangan bergerombol atas perempuan—terutama di tempat umum—bukan hal baru di Mesir. Namun, sejumlah kelompok advokasi untuk kali pertama mendorong para perempuan menguak dugaan pelecehan ke hadapan publik yang kerap kali masa bodoh dan skeptis.

Kisah-kisah mengerikan mengenai pelecehan seksual lantas bermunculan di laman-laman media sosial dan halaman depan surat kabar. Dalam beberapa pekan terakhir acara bincang-bincang di televisi mengulang kisah-kisah itu. Hal ini mengguncang kesadaran warga pada sebuah negara yang bangga akan keberadabannya.

“Banyak kelompok telah sepakat untuk tidak lagi bungkam,” ujar Janet Abdul Aleem, perempuan yang membantu mengorganisir relawan pelindung untuk organisasi Mesir “I Saw Harassment.”

Para aktivis yang rata-rata berhaluan sekuler itu menuduh polisi, bersama-sama dengan pemimpin Islam mesir, diam-diam mengamini tindakan pelaku guna melemahkan semangat para demonstran.

Dalam laporannya, Amnesty International menulis kekerasan “meningkat dalam hal skala dan kekejian” pada 25 Januari berbarengan dengan peringatan dua tahun revolusi Mesir dan demonstrasi massal menentang Mursi. Hari itu, para korban melaporkan setidaknya 24 kasus pelecehan seksual terjadi di Lapangan Tahrir. Seorang perempuan berusia 67 tahun bahkan turut menjadi korban.

Menurut para korban, para petugas penegak hukum serta otoritas pemerintahan sering gagal mengajukan tuntutan kepada tersangka pemerkosa dan pelaku pelecehan seksual. Pada beberapa kasus, para korban menyatakan adanya tekanan untuk menarik tuduhan.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri yang mengawasi kinerja kepolisian mengakui adanya sejumlah pelecehan seksual di Lapangan Tahrir. Menurutnya, kementerian memperlakukan masalah itu sama dengan kasus lain. Ia menepis anggapan bahwa pemerintah sengaja membiarkan kasus itu terjadi demi menyurutkan semangat para pengunjuk rasa.

Para pemimpin Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam yang menopang pemerintahan Presiden Mursi, telah meminta agar pelecehan seksual tak lagi terjadi. Perdana Menteri Mesir, Hisham Qandil mengatakan beberapa bulan lalu bahwa pihaknya sedang menyusun perundang-undangan yang nantinya akan memungkinkan sanksi lebih keras kepada para pelaku. “Kami melihat fenomena ini sebagai bencana yang mengancam masyarakat dan menjadi isyarat akan anjloknya nilai-nilai,” ujarnya.

Juru bicara Qandil Selasa lalu turut mengungkap bahwa para menteri segera memulai pembicaraan mengenai undang-undang kekerasan dan pelecehan seksual.

Salah satu tuduhan yang tersebar luas di ranah media sosial adalah pengakuan perempuan belia bernama Salma Shamel yang menjadi anggota sebuah kelompok advokasi menentang pelecehan seksual. Salma menggambarkan di blog miliknya mengenai tindakan sejumlah pria yang menelanjanginya di Lapangan Tahrir pada 25 Januari. Menurutnya, salah seorang pelaku menggunakan pisau untuk menyobek celananya.

“Saya menjerit, menangis, tercekik, dan tak kuasa berbuat apa-apa,” tulisnya. “Mereka menarik syal yang melingkari leher saya dan mencekik saya dan menyeret saya,” lanjutnya tanpa mau berkomentar lebih jauh mengenai insiden itu.

Pada demonstrasi Rabu lalu di pusat kota Kairo, ratusan perempuan mendesak adanya perlindungan lebih baik dan penyelidikan lebih jauh atas dugaan pelecehan tersebut. Mereka meneriakkan slogan-slogan revolusi—yang banyak di antaranya ditujukan menentang Mursi—dan membawa banyak spanduk yang meminta warga Mesir untuk tak lagi bungkam menghadapi kasus pelecehan seksual.

Sumber : wsj.com