Search
Close this search box.

Karena Tuhan Tidak Pernah Salah

Ourvoice.or.id – Pengalaman berpacaran dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan yang menjadi inspirasi dari cerita film Cin(T)A, ungkap penulis skenario dan sutradara, Sammaria Simanjuntak (29) dalam diskusi pemutaran film tersebut di Mess 55, Kalibata, 27/1/2013.

Diskusi film kali ini juga enghadirkan narasumber lain Ahmad Taruna Habir, seorang pemuda yang dibesarkan dalam keluarga pernikahan beda agama (Bapak Muslim dan Ibu Kristen) dengan moderator Luna Meyes (Relawan Ourvoice).
Atin, biasa Sammaria dipanggil meyatakan cerita film tersebut memang lebih banyak pengalaman pribadi saya atas pertanyaan mendasar mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda tetapi disaat bersamaan saling membenci?, ungkapnya.  Film ini juga menjadikan Sammaria mendapatkan piala Citra pada 2009 untuk kategori penulis skenario asli terbaik. Ini merupakan film perdana Atin dengan digarap secara independent.
Atin seorang perempuan Batak, Kristiani yang tergabung dalam gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan alumni Teknik Arsitektur Institute Teknologi Bandung (ITB). Dengan latar belakang itu, pendidikan keluarga sangat tidak memberikan pendidikan tentang berbeda, jelasnya.

Atin menegaskan bagaimana sosok ibunya yang tergambar dalam film terbarunya, Demi Ucok yang menceritakan tentang seorang ibu beretnis Batak yang sangat memegang kuat adat istiadatnya dengan menginginkan anaknya menikah satu agama dan satu etnis. Batak.

Justru dia banyak merefleksikan makna hidup tentang cinta dan perbedaan ketika menjalin percintaannya dengan pacarnya, ungkapnya.  Selama ini saya selalu pacaran dengan yang berbeda agama dan keyakinan, jelas Atin sambil tertawa. Inilah yang membuat saya belajar tentang apa itu perbedaan.
Pengalaman Sammaria menurut saya menarik, bagaimana hubungan pacaran yang sebagian orang menganggap sesuatu yang “buruk” bahkan sangat dilarang (baca: diharamkan), justru Atin dapat belajar makna cinta dan kemanusiaan dalam proses itu.  Menurut saya, sangat mungkin sekali jika Atin hanya aktif di gereja melaksanakan ibadah ritual saja, dirinya justru akan kehilangan makna kemanusiaan tersebut. Tidak akan menghasilkan sebuah karya “besar”, sebuah film yang menampilkan pergulatan dua remaja yang berbeda ras dan agama tetapi saling mencintai.

Peserta Diskusi Nonton Film Cin(T)A di Mess 55 (Foto: Yatna-Ourvoice)

Mungkin kita kadang salah,  sesuatu yang dianggap baik tidak selalu menghasilkan hal yang baik begitu juga sebaliknya, sesuatu yang kita anggap kotor tetapi faktanya bersih dan suci. Misalnya ada banyak orang melakukan ibadah ritual hanya menjadi ritual belaka, tanpa punya makna apapun kecuali disebut sebagai orang yang sholeh oleh masyarakat.
Pengalaman sang sutradara (Atin) menjadi gambaran nyata, bagaimana kebaikan atau nilai-nilai kemanusian tidak hanya didapat dalam mimbar-mimbar rumah ibadah.  Kebaikan bisa hadir dimanapun, kantor, gunung, hutan, institusi perkawinan bahkan  hadir dalam kamar-kamar sempit dan lorong-lorong gelap dimana para perempuan dan Waria harus menjual tubuhnya. Saya selalu yakin, Tuhan tidak pernah salah memberikan hidayahNYA. (Hartoyo)