Search
Close this search box.

Minang Bukan Islam,Begitu Sebaliknya (Sebuah Tanggapan)

Ourvoice.or.id – Seorang pembaca website Ourvoice dengan nama identitas “No Name” memberikan komentar tulisan saya tentang film-cinta-itu-beda-merefleksikan-makna-perbedaan , komentarnya  seperti ini:

“Melihat tulisan Anda saya sangat tidak setuju Anda mengatakan Minang tidak sama dengan muslim. Perlu Anda ketahui bahw afalsafah adat Minangkabau bersendikan Al quran. Jadi Minang adalah Muslim. Itu harga mati.
Dan koreksi yang lebih tepat untuk tulisan Anda adalah Padang tidak sama dengan Muslim. Itu benar. Karena tidak semua masyarakat Padang, Sumbar umumnya adalah orang Minang. Ada berbagai etnis suku yg hidup diranah Minang tapi mereka bukan Minang. Mereka akan menyebut mereka orang Padang bukan Minang.
Kalaupun ada orang minang yang bukan Muslim lagi atau pindah keyakinan, mereka bukan lagi di akui sebagai orang Minang. Karena sudah keluar dari kultur minang dan melangkahi falsafah adat minangkabau. Jadi saya harap Anda perhatikan lagi tulisan Anda sebaik2nya sebelum dipublishkan. Saya ingatkan kembali MINANG ADALAH MUSLIM/ ISLAM. Karena budaya dan agama berdampingan.

Membaca komentar itu, saya sebagai penulis sangat memberikan apresiasi karena tulisan saya mendapat respon dari orang lain.  Tanpa bermaksud “membela diri” tulisan saya tentang film itu berdasarkan fakta yang ditampilkan dalam film “Cinta Tapi Beda” dan kemudian saya meyimpulkan apa yang saya lihat dan dengar dari film tersebut. Itu hal yang harus dipahami dulu,tentu sangat subjektif.

Cerita yang saya pahami dalam film tersebut meyampaikan fakta peran orang Minang (diperankan oleh Jajang C.Noer) yang tinggal di Sumatera Barat dan bukan muslim, penganut Khatolik fundamentalis.  Dialog-dialog sang tokoh semakin menegaskan seperti dengan gaya berbahasa Minang dan menyatakan diri sebagai orang Minang yang berkeyakinan Khatolik yang sangat sulit hidup di lingkungan masyarakat Minang yang mayoritas penganut Muslim.

Itulah fakta dari peyajian film tersebut, sehingga saya meyimpulkan bahwa film ini ingin menyatakan bahwa orang yang  beretnis Minang itu tidak selalu muslim tetapi ada yang berkeyaninan lain, atau singkatnya Minang tidak sama muslim.

Hal ini juga dipertegas oleh sang pemeran, Jajang C.Noer dalam account twitternya @ibutjantik menyatakan bahwa tokoh tersebut memang sebagai orang Minang yang beragama Khatolik. Tapi tidak bertendensi apapun. Hal ini bisa saja terjadi pada orang Bali yang beragama Hindu dengan orang Makasar yang Islam, ungkap Jajang.

Menurut saya memangnya bukannya  begitu? Sama seperti Arab, apakah sebagai etnis ataupun kebangsaan, bahwa Arab tidak sama Muslim. Ada banyak orang Arab (baik identitas etnis maupun kebangsaan) yang beragama non muslim. Bahkan Palestina juga tidak sama dengan Muslim, karena rakyat Palestina ada yang beragama non muslim. Begitu juga orang Batak dan Papua tidak harus beragama Kristen/Khatolik.

Bagi saya, agama itu pilihan bebas setiap orang. Seseorang yang beretnis apapun dapat bebas menentukan agama apapun yang dianutnya. Tidak ada pihak manapun yang berhak menghilangkan identitas kesukuan seseorang hanya karena alasan agama. Karena suku ataupun identitas adat istiadat bagian dari hak individu, termasuk juga agama. Termasuk seseorang yang berkeyakinan non muslim bukan berarti dilarang menggunakan hijab/jilbab kalau misalnya itu sebuah identitas “kesukuannya”misalnya yang terjadi di masyarakat non muslim wilayah Timur Tengah.

Film Cinta Tapi Beda mencoba menawarkan fakta lain soal realita manusia yang tidak tunggal. Seorang mahasiswa yang bernama Lini dalam account twitternya @AyuLini menyatakan hal yang sama, bahwa film ini mencoba mendekontruksi bahwa Minang tidak selalu harus Muslim.

Memang kadang kita lahir dibumi ini seperti diberikan begitu saja, tidak dapat memilih dengan bebas sebagai etnis dan agama apa. Jika orang tua kita beretnis Jawa, Muslim dan heteroseksual maka kita seperti wajib harus sama seperti orang tua kita. Jawa, Muslim dan heteroseksual.

Kembali ke soal falsafat Minang yang menyatakan bahwa “adat basandi syara’ – syara’ basandi kitabullah”  bukan berarti orang Minang (baca etnis Minang) harus berkeyaninan sebagai Islam. Kalau kitabullah (baca Al-Quran) diyakini sebagai sumber nilai tertinggi dalam kehidupan masyarakat minang, tentunya bisa saja dipahami sebagai sumber nilai-nilai ke-Islam yang universal.

Hal ini sama seperti UUD 45 yang juga bersumber pada nilai-nilai ke-Tuhanan atau agama, seperti anti kekerasan, keadilan, kesetaraan.  Kalau adat Minang bersumber pada ajaran atau nilai-nilai Al quran memang benar sekali, karena adat Minang mengajarkan cinta kasih dan keadilan bagi setiap orang. Bukankah nilai-nilai keIslaman yang dianut oleh masyarakat Minang, seperti harus berbuat baik pada semua mahkluk, adil, non diskriminasi, kesetaraan dan tanpa kekerasan hal yang memang seharusnya dimaknai oleh semua orang? Baik Minang Muslim maupun Minang Non Muslim. Sehingga tidak tidak ada yang perlu dipertentangan terhadap falsafah Minang ”  “adat basandi syara’ – syara’ basandi kitabullah” , ketika seorang orang Minang yang juga penganut agama non Muslim.

Menurut saya sangat berlebihan dan sebuah pelanggaran hak dasar manusia, ketika orang Minang yang beragama non muslim harus dihilangkan keetnisannya sebagai Minang.  Padahal kalau mengacu pada sejarah, masyarakat Minang dengan adat istiadatnya sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke tanah Minangkabau.  Hal ini juga berlaku pada etnis-etnis lainnya, seperti Etnis Aceh, Gayo, Jawa maupun Batak.

Saya jadi ingat ketika pertama sekali bertemu dengan orang Jawa yang beragama non Muslim di propinsi Lampung. Kok ada orang Jawa beragama Kristen, pikirku saat itu.  Saya yang dilahirkan dan besar di wilayah Sumatera Utara, tidak pernah bertemu dengan orang Jawa beragama Kristen, karena umumnya etnis Jawa di Sumut (minimal yang saya tahu selama ini) adalah penganut Muslim. Tetapi setelah bersentuhan banyak orang Jawa khususnya di pulau Jawa, saya baru meyadari bahwa Etnis tidak harus dilekatkan pada agama tertentu.
Seorang Jawa yang Khatolik tidak harus kehilangan keetnisannya, begitu juga sebaliknya. Sehingga menjadi tidak heran ketika ada gereja berdasarkan keetnisannya, Misalnya Gereja Jawa, Gereja Karo dan Gereja Batak.

Bahkan tidak jarang ritual keagamaan juga digabungkan dengan identitas keetnisannya.  Hal itu dapat di lihat pada acara ritual pernikahan ataupun kematian di masyarakat etnis Batak, justru lebih kental acara ke-etnisannya daripada aturan agamanya (baik yang Muslim maupun yang non Muslim).  Termasuk juga dalam etnis Jawa.  Walau pasti ada beberapa peyesuaiannya. Bukankah ini yang dinamakan inkulturisasi yang biasa terjadi dimasyarakat dunia manapun antara ajaran agama dan etnis/adat istiadat yang saling kawin mengawin.

Sehingga kalau “No Name” menyatakan bahwa etnis Minang sama dengan Muslim adalah sebuah harga mati, ah Anda lebay deh.… Minang tidak harus Muslim, begitu juga sebaliknya. Itu sebuah identitas yang “cair”  yang dapat dipertukarkan satu sama lain tanpa harus yang satu kehilangan yang lain. Mau jadi Minang, Non Muslim dan Homoseksual, so what gitu loh… Salam Keberagaman. (Hartoyo)