Ourvoice.or.id – Rata-rata setiap lima jam ada satu korban perkosaan di Indonesia, ungkap Abdul Haris Semendawai ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) dalam siaran pers pada “Malam Solidaritas Untuk Anak Korban Kejahatan Seksual di Jakarta, 9/1/2013.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), tahun 2011 ada 2509 laporan kekerasan, 59% nya adalah kekerasan seksual. Sementara tahun 2012 kami menerima 2637 laporan, 62% nya kekerasan seksual (1.526 kasus). Hal ini juga diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama 2012 sebanyak 317 anak Indonesia mengalami korban kekerasan seksual, 102 anak korban pencabulan dan 36 kasus anak di eksploitasi secara seksual. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak menurut KPAI memang meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya di Sumatera Selatan pada 2012 ada 234 kasus, naik 80 persen sedangkan di Sumatera Utara meningkat 20-30% dibandingkan tahun 2011.
Padahal kekerasan dan perkosaan pada anak dan korban lainnya bukan hanya soal seks dan tindakan kriminal semata. Pelaku perkosaan bukan menikmati seks tetapi menikmati kontrol tubuh korban sebagai objeknya. Ada sikap penundukan pada seseorang yang merasa kuat (pelaku) kepada yang dianggap lemah (korban), seperti anak dan perempuan. Hal ini diungkapkan Gadis Arivia, pendiri Yayasan Jurnal Perempuan di website jurnalperempuan.org.
Untuk itu Komnas Perempuan dalam siaran persnya menyatakan; penting Kementerian Pendidikan memberikan kesehatan reproduksi sejak dini pada setiap anak. Hal ini sebagai upaya pencegahan sejak dini bagi anak, perempuan maupun lainnya untuk mengetahui hak-hak seksualitas serta menghormati hak seksualitas orang lain. Hak atas tubuh.
Sayangnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Indonesia masih menganggap bahwa pendidikan seksualitas sebagai yang tabu untuk diberikan kepada anak-anak. Padahal kekerasan seksual yang dialami anak pelakunya bisa saja orang tua, guru ataupun orang terdekat lainnya. Misalnya anak-anak yang secara identitas jender (cowok feminin dan cewek tomboy) dan orientasi seksual dianggap berbeda sebagaimana masyarakat mau, maka anak itu akan terus menerus mengalami kekerasan secara sistematis. Ironisnya kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami anak itu seperti dibenarkan oleh lembaga pendidikan, keluarga maupun agama. (Hartoyo)