Search
Close this search box.
Publik menyaksikan Liu Wangqiang dan Lu Zhong berciuman dalam pernikahan sesama jenisnya di Fujian, Oktober 2012 (Agence France-Presse/Getty Images)

Ourvoice.or.id. Beberapa bulan setelah Amerika menyetujui pernikahan sesama jenis, sebuah pengadilan di Cina memicu kontroversi dengan merekomendasikan  sebuah undang-undang yang mempermudah perempuan untuk mengakhiri pernikahan dengan lelaki gay.

Menurut pemberitaan media pemerintah, sebuah pengadilan Beijing baru-baru ini menyerahkan laporan yang mengusulkan adanya undang-undang yang memungkinkan individu –yang baru kemudian menemukan bahwa pasangannya gay – untuk memperoleh pembatalan pernikahan, ketimbang status bercerai.

Kantor berita resmi Xinhua mengatakan, setelah mendapat pembatalan, orang tersebut akan dicatat sebagai lajang, bukan janda atau duda.

Meski regulasi yang diajukan pengadilan tersebut dapat berlaku bagi siapa saja, nampaknya UU tersebut ditujukan untuk tongqi (perempuan heteroseksual yang menikahi pria gay).

Belum ada jumlah pasti berapa populasi tongqi di Cina, namun menurut Zhang Beichuan, peneliti masalah HIV/AIDS dan seksologis di Universitas Qingdao, jumlahnya berkisar sekitar 10 juta orang. Jika jumlah biseksual dan transgender turut dimasukkan, maka angkanya mencapai 16 juta. Zhang menyimpulkan angka tersebut dengan membandingkan jumlah pernikahan dan studi demografis terhadap populasi gay di Cina.

“Sekitar 80% pria gay menikah karena memiliki tanggung jawab untuk meneruskan nama keluarga mereka—dan agar dianggap anak yang berbakti bagi keluarga,” ujar Zhang.

Pasangan lesbian berciuman untuk meningkatkan pemahaman publik terkait masalah pernikahan sesama jenis di propinsi Hubei, 8 Maret 2011. (Agence France-Presse/Getty Images)

Dianggap sebagai penyakit mental secara resmi oleh Asosiasi Psikiater Cina sampai tahun 2001, kaum gay, lesbian dan transgender kini mulai diterima di Cina dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kota-kota besar seperti Shanghai dan Guangzhou, yang memiliki komunitas gay yang aktif. Sebuah pernikahan gay di depan publik di provinsi Fujian, Oktober lalu, menuai pujian di dunia maya. Oleh aktivis hak kaum gay, hal tersebut dianggap  tanda kian berkembangnya penerimaan gay di kalangan masyarakat Cina.

Kendati demikian, pernikahan sesama jenis –yang tidak diakui oleh hukum Cina –masih jarang ditemui. Dan meski sebagian besar warga Cina tak terlalu menghiraukan penyuka sesama jenis, situasi berbeda justru ditemui di rumah. Alasannya: menjadi gay berarti seorang pria tak dapat memenuhi, menurut banyak orang tua Cina, tugas terbesar seorang putra.

“Ada tiga alasan seorang anak dianggap tak berbakti. Yang terburuk adalah tidak memiliki keturunan,” demikian nasihat filusuf Mencius yang masih diterapkan hingga kini.

Akibatnya, banyak pria gay memaksakan dirinya untik menikah dengan seorang perempuan. Dalam beberapa kasus, seorang pria gay akan menikahi temannya yang lesbian, sehingga keduanya dapat menjalani gaya hidup masing-masing dan masih memuaskan keinginan keluarga yang ingin melihat mereka menikah. Bagi mereka yang belum menemukan lesbian untuk bekerja sama, Cina kini memiliki situs chinagayles.com yang menawarkan perjodohan gay-lesbian yang ingin menikah. Namun, dalam kasus lain, pria gay akan berpura-pura heteroseksual untuk mendapat istri dan berhubungan intim untuk memiliki keturunan.

Situasi buruk yang menimpa tongqi ini menjadi sorotan publik setelah Juni tahun lalu seorang perempuan 31 tahun di Sichuan melompat bunuh diri karena mendapati suaminya selama enam bulan ternyata gay. Orang tua sang istri menuntut suami dengan tuduhan menjebak putrinya dalam pernikahan dan meminta ganti rugi sebesar 630.000 yuan ( $ 101.000). Sebuah artikel yang dimuat di situs resmi pemerintah Sichuan awal bulan ini mengatakan pengadilan setempat menolak tuntutan tersebut dengan alasan pernikahan mereka sah secara hukum.

Menurut Zhang, perempuan heteroseksual yang terjebak pernikahan semacam itu sulit untuk keluar dari situasi tersebut, terutama setelah memiliki anak. “Meski mereka tak lagi berhubungan seksual dengan suaminya, mereka masih terikat sebagai keluarga,” ujar Zhang. “Coba pikir. Jika mereka bercerai, mereka kehilangan suaminya, anaknya, uangnya, dan rumahnya.”

Proposal yang diajukan pengadilan Beijing tersebut setidaknya mengurangi satu hambatan untuk keluar dari situasi tak menyenangkan tersebut—rumitnya proses hukum dan stigma perceraian, demikian menurut satu kelompok sukarelawan pendukung tongqi seperti dilansir Xinhua. “Seorang duda berusia 40 tahunan masih diminati dan dapat menemukan perempuan berusia 20 tahunan untuk dinikahi. Namun hal tersebut tak berlaku bagi janda berusia sama,” ujar seorang sukarelawan yang tak mau disebutkan namanya kepada Xinhua.

Beberapa pihak memuji proposal UU tersebut sebagai alat potensial untuk mencegah pria gay yang tengah mempertimbangkan menikahi perempuan heteroseksual dengan berpura-pura.

Kendati demikian, respon Zhang terkait langkah pengadilan –yang diajukan 10 Januari –masih dilematis. “Secara umum, hal bagus bila masalah tongqi ini mendapat perhatian dari segi hukum, ini bentuk kemajuan. Namun setiap kasus berbeda dan harus ditangani dengan hati-hati,” ujar Zhang. “Maksud UU tersebut baik, namun proposal yang diajukan masih belum mendetail,” tambahnya.

Menurut kritikus, masih terdapat beberapa masalah yang belum disinggung dalam proposal tersebut. Pertama, apakah perempuan yang memiliki anak dengan suami gaynya masih dapat mengajukan pembatalan pernikahan. Kedua, bagaimana menangani kasus di mana sang pria baru menyadari homoseksualitasnya setelah menikah.

Menurut Hu Zhijun, direktur eksekutif Parents, Families, and Friends of Lesbians and Gays (PFLAG) di Cina, masalah ini tak akan sepenuhnya terpecahkan sampai Cina berhenti mendiskriminasi kaum homoseksual.

Dengan diberkati oleh Seorang biksu, Shih Chao-Hwei, pasangan wanita bernama Yu Ya-ting dan Huang Mei-yu resmi menjadi pasangan lesbian pertama yang menikah secara legal di Taiwan, yang menikah secara resmi dalam sebuah upacara Budha di hadapan 100-an tamu undangan pada 11 Agustus 2012 yang lalu.(Agence France-Presse/Getty Images)

“Proposal pengadilan tersebut merupakan salah diagnosa terhadap masalah sesungguhnya. Mereka telah menulis ‘resep’ tanpa mencari tahu akar ‘penyakit’,” ujar Hu, yang dikenal dengan nama panggilan Ah Qiang, dalam blognya setelah rancangan UU tersebut diumumkan. “Masalah tongqi perlu dipecahkan dan mensyaratkan penerapan UU baru yang mengakui pernikahan sesama jenis. Dengan demikian, kaum gay memiliki hak untuk hidup bersama orang yang mereka cintai.”

Menurut Hu, hal yang lebih penting dari UU pernikahan sesama jenis adalah edukasi agar publik lebih memahami homoseksualitas. “Kita juga harus meningkatkan edukasi dan mendorong mereka agar menjadi diri sendiri,” ujarnya seraya merujuk pada bahasa gaul untuk pria gay. “Jika bias dan diskriminasi berkurang, penyuka sesama jenis akan secara alami menghindari pernikahan dengan heteroseksual.”

–Olivia Geng dan Josh Chin

Sumber : indo.wsj.com