Search
Close this search box.

I “ngangkang,” therefore I am

 

Oleh: Tanti Noor Said

Intro

Seperti yang saya ingat ketika meninggalkan kota ini delapan tahun yang lalu, tidak ada yang berubah, kota ini memiliki ciri khas seperti beberapa kota tersibuk di dunia, selalu macet dan bising, terutama pada jam orang-orang berangkat kerja, makan siang dan pulang kerja. Hari itu, hujan memutuskan untuk turun seharian, berkontribusi terhadap kemacetan dan kebisingan Jakarta.

Saya memutuskan untuk memadatkan jadwal pertemuan dan janji saya dengan beberapa sahabat, yang memang selalu saya kunjungi jika saya pulang ke Jakarta. Setelah seharian memuaskan kegilaan makan berkolesterol tinggi saya di warung Padang dan berdiskusi politik (agenda yang tidak pernah absen setiap tahun dengan orang yang sama) dengan sahabat saya Dewi Soekarton, maka saya melanjutkan agenda berikutnya. Dengan menumpang taxi berwarna biru, pada pukul 4 sore, dari Barito saya menuju ke Jalan Gatot Subroto, untuk menjemput sahabat saya Jane Andika, yang bekerja sebagai presenter dan produser dari sebuah acara pengetahuan dan hiburan di televisi swasta. Hujan dan macet, namun merayap. Dalam waktu setengah jam saya pun sampai di Gatot Subroto. Sayangnya, pada pukul 5 sore, sahabat saya baru saja selesai meeting dan jalanan tambah macet dan hujanpun makin deras. Angin juga bertiup sangat kencang waktu itu. Pada saat itu kami berfikir, hanya supir taksi goblok saja yang mau melewati jalan ini tanpa penumpang. Sehingga kami memutuskan untuk naik ojek motor.

Sebelum naik ojek, saya tiba-tiba teringat dengan kebijakan dilarang ngangkang di Aceh, yang baru-baru ini santer dibahas di setiap status Facebook teman-teman saya, maupun di dalam diskusi berbau jender dan agama. Teringat komentar Hartoyo, seorang sekum Our Voice yang menghimbau saya untuk menulis masalah ini. Tapi, masalah ngangkang ini, menjadi sangat personal untuk saya. Saya juga nyeletuk sebelum naik ojek kearah Jane, sahabat saya, “ Jangan ngangkang lho Jane.” Jane tentu saja hanya menyeringai sewot seperti biasanya. Mengapa masalah perilaku ngangkang ini saya anggap masalah pribadi? Masalahnya, saya tidak merasa aman duduk menyamping. Dan bisa dikonfirmasi pada teman-teman yang sudah sering memboncengi saya bersepeda di Amsterdam, bagaimana saya jadi bahan tertawaan, karena sebagai perempuan, saya nggak mau dan nggak bisa duduk menyamping. Maka, pada hari itupun saya duduk ngangkang dengan menggunakan celana jeans yang super pendek. Dalam waktu 15 menit, bang ojek berhasil menembus hujan dan kemacetan dan membawa kami ke Tebet Square. Tepat pukul 6 sore, kami mampu menepati janji kami dengan teman-teman, sambil mengangkang.

 

Larangan ngangkang bagi perempuan di Aceh dan kaitannya dengan ketidaksetaraan jender, serta pengekangan seksualitas perempuan muslim dengan berbagai tujuan

Tengku Fauzan SH.I Sekretaris Majelis Ulama Nanggroe Aceh (Muna) mengatakan ada sejumlah rekomendasi yang diberikan kepada walikota Lhokseumawe dalam rangka melaksanakan Syariah Islam Di Kota Lhokseumawe. “Salah satunya untuk melarang perempuan yang di bonceng tidak duduk ngangkang.” Menurutnya, hal ini terkait dengan haramnya perempuan menggunakan pakaian laki-laki, dan bila perempuan mengangkang, artinya perempuan menggunakan celana, yang artinya melakukan tindakan haram.

Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya telah menandatangani surat edaran yang melarang perempuan mengangkang saat dibonceng motor, Senin 7 Januari 2013. Setelah 3 bulan, bila dirasa berdampak positif, maka surat edaran itu akan dijadikan Peraturan Daerah (Perda).
Surat bernomor 002/2013 dan tertanggal 2 Januari 2013 ini ditandatangani Wali Kota Suaidi Yahya, Ketua DPRK Saifuddin Yunus, Ketua MPU Tengku Asnawi Abdullah, dan Ketua MAA Tengku Usman Budiman. Salah satu isi surat ini adalah, ‘Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang), kecuali dalam kondisi terpaksa atau darurat‘.

Dari berbagai sumber, larangan ngangkang ini ternyata banyak mendapat dukungan dari tokoh setempat baik tokoh perempuan maupun agama. Alasannya dititik beratkan kepada pencegahan tindak maksiat. Perlu juga dilihat dengan cermat, bahwa larangan ini merembet kepada larangan-larangan lainnya, yang dianggap mengarah kepada bentuk kemaksiatan.

Dalam melihat fenomena penggunaan syari’ah agama Islam dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, maka ada dua hal yang tersirat dengan sangat nyata. Pertama, tentu kita langsung dapat melihat bagaimana perempuan dijadikan obyek peraturan-peraturan ini tentu saja menjadi sulit disangkal, bagi mereka yang percaya akan dogma ajaran Islam.

Kedua, pemerintah lokal, dengan segenap perangkat negara dan organisasi Islam yang memiliki power atau kekuasaan, dapat dengan semena-mena membuat peraturan, dan tentu saja para teman sejawat saling mendukung. Teman sejawat, yang tentu saja satu aliran. Apakah sebelum membuat peraturan, perempuan-perempuan Aceh ditanya persetujuannya? Tentu saja tidak. Sangat disayangkan, pemerintah lokal, pusat ataupun organisasi agama yang memiliki kekuatan atau power, pada saat ini semena-mena, dan menganggap diri mereka merupakan perpanjangan dari Tuhan.

Akhirnya, jangan lupa untuk menangkap kecemasan yang tidak reda-reda dari kalangan petinggi-petinggi kita di Indonesia dalam hal praktek seksual. Begitu maraknya korupsi, penebangan hutan semena-mena, kasus kemiskinan dimana-mana. Namun, pembahasan tentang isu seksualitas, masih tetap menjadi topik utama yang terkadang dibahas dengan alasan-alasan yang sama sekali tidak proporsional ataupun logis. Tapi tentu saja, perempuan dalam hal ini dijadikan obyek ketakutan akan naluri seksual yang ada.

Yang mengganggu benak saya sebagai seorang perempuan adalah, alasan larangan mengangkang yang dikaitkan dengan andil perempuan atau kewajiban perempuan untuk bertanggungjawab terhadap rendahnya kemampuan laki-laki untuk mengekang hawa nafsu atau mengendalikan naluri mereka untuk berekspresi dalam hal seksual. Kurang absurd apa?

Kecemasan akan naluri seksual diri dan penggunaan “ power

Dalam konteks seksualitas, fatwa MUI juga pernah dihembuskan untuk larangan melakukan cross-dressing atau menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan jendernya bagi waria. Padahal tradisi cross-dressing bagi waria sudah ada sejak lama. Namun, mengapa larangan-larangan terhadap praktek-praktek berbusana tersebut saat ini perlu dilegitimasikan oleh pemilik otoritas? Tentu, bukan saja berkaitan dengan ketakutan atau kecemasan eksistensi lembaga keagamaan saja, namun kuatnya topik seksualitas ini dalam pengekangan kebebasan masyarakat yang rupanya lebih terlihat sejak jatuhnya rejim Orde Baru.

Sistem kebudayaan yang patriarkal, tentu saja telah menjadi nuansa dan mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari, baik di Indonesia, maupun dalam masyarakat manapun didunia ini. Hanya saja, cara sistem kebudayaan ini diterapkan, disetiap tempat berbeda (culture specific). Dalam kasus Indonesia, agama Islam menggunakan organisasi-organisasi Islam dan Negara sebagai kendaraannya dan fatwa-fatwa sebagai pelurunya. Kita perlu memisahkan antara agama dengan apa yang dilakukan orang yang menganut agama tersebut, apalagi jika pelakunya memiliki kekuasaan tertentu yang mengikat masyarakat luas. Maka ada tumpang tindih di dalamnya. Bukan lagi masalah benar atau salah. Tapi masalah permainan kekuasaan. Dan hal ini menjadi berbahaya, karena terkadang kita lupa, bahwa manusia yang mewakili kita dalam pemerintahan ataupun organisasi agama, bukanlah wakil Tuhan.

Setelah mengamati beberapa kasus serupa, yaitu berkaitan dengan larangan-larangan yang berbau seksualitas, baik mengenai aurat bagi perempuan maupun bagaimana perempuan dipersalahkan dan dibebani tanggung jawab luar biasa besar oleh agama dan negara, maka hal ini mengingatkan saya pada masalah power dan ketakutan akan naluri seksual laki-laki.  Hal inipun, jadi mengingatkan saya terhadap ungkapan surga ditelapak kaki ibu, dan pada saat yang sama, ibu juga akan menjadi sosok yang dituding dan dipersalahkan jika seorang anak tidak tumbuh sesuai dengan moral yang diberlakukan dalam masyarakat, agama dan negara.

Kecemasan para petinggi yang merepresentasikan kebobrokan moral laki-laki dengan adanya perkosaan dimana-mana dan praktek perjinahan di satu sisi. Di sisi lain posisi perempuan sebagai kelas kedua yang diobjektifikasikan, baik di dalam hukum, maupun dalam hubungan laki-laki dan perempuan, baik dalam konteks sosial dan seksual. Apa yang salah dari kedua hal ini? Pertama, dalam hal seksualitas, nafsu dari perempuan disamarkan. Seakan perempuan tidak memiliki hasrat seksual atau desire. Jikapun hasrat itu ada, mari dikekang. Dengan slogan, do not spread your legs. Karena ketakutannya adalah, laki-laki akan terangsang dan maka, perjinahan atau perkosaan terjadi.

Ketakutan laki-laki terhadap naluri mereka sendiri ini adalah hal yang sebenarnya lumrah menurut Freud. Namun tentu saja tradisi nilai machoisme yang sangat kuat membuat banyak laki-laki tidak mengakui ketakutannya dengan gamblang. Yang ada adalah memposisikan diri sebagai korban. “ Yah, maklum lah laki-laki kalau nakal, laki-laki itu lemah jika berkaitan dengan seks. Atau, kalau ada perempuan yang berbusana vulgar, mana ada laki-laki yang dapat menolak?” Dari semua pernyataan ini terlihat sangat jelas, keengganan laki-laki untuk mengambil tanggung jawab, pada saat yang sama menyalahkan perempuan karena busana mereka.

Masih mengacu kepada naluri, untuk mencuci tangan akan kesalahan-kesalahan yang terjadi, maka perempuan yang ditaruh dalam posisi dengan larangan untuk berbusana tertentu atau berperilaku tertentu, yang akan membangunkan naluri mereka yang lemah dan cemas ini. Power atau kekuasaan, sangat berbahaya dan bekerja untuk maksud yang tidak selalu seperti yang disosialisasikan. Dalam hal ini saya meng-echo Foucault. Dengan menggunakan dalih agama, pihak yang memiliki otoritas melarang perempuan untuk berbaju terbuka, berbaju seperti laki-laki dan mengangkang. Namun dampaknya adalah, pemarjinalan perempuan dalam ranah sosial dan seksual. Selain itu juga sebuah bentuk pencegahan terhadap sikap bertanggung jawab dalam kasus-kasus perjinahan dan perkosaan yang ada. Karena sekali lagi, perempuannyalah yang telah melanggar syariat agama dan peraturan.

Kembali ke judul diatas, I am ngangkang, therefore I am. Kalau larangan itu terjadi pada saya, saya takut, saya akan jatuh jika dibonceng motor. Karena sangat tidak aman naik motor dengan posisi menyamping. Selain itu, jika sedang tidak menggunakan rok, saya cendrung lebih suka duduk mengangkang. Tradisi ini sudah tersosialisasi sejak saya kecil, melihat ninik (baca: nenek) saya dari Kalimantan yang selalu duduk mengangkang meskipun di atas kursi. Jadi, tanpa harus dikaitkan dengan ketidakpantasan seksual, sehari-haripun, saya akan duduk dengan cara serupa. Then, I am ngangkang, therefore I am.