Ourvoice.or.id. Kasus HIV/AIDS di Bali tiap tahun meningkat tajam dan tak bisa dibendung. Hal itu dinilai tidak terlepas dari lemahnya peran pemerintah dan gagalnya Perda HIV/AIDS Provinsi Bali.
Kondisi ini membuat sejumlah kalangan minta agar Perda HIV/AIDS dievaluasi. Setelah sebelumnya wacana evaluasi terhadap Perda HIV/AIDS ini dilempar anggota DPRD Bali, kini giliran puluhan aktivis yang tergabung dalam Forum Komunikasi Perempuan dan Anak Peduli HIV dan AIDS (FKPAPHA) Bali menuntut agar Perda No. 3 Tahun 2006 tentang penanggulangan HIV dan AIDS segera direvisi karena kurang tersosialisasi dengan baik.
Mereka mendatangi gedung DPRD Bali di Renon, Denpasar, Jumat (14/12) kemarin. ”Perda HIV/AIDS sudah tidak mampu mengatasi masalah HIV/AIDS. Perda itu sudah gagal dan harus segera direvisi,” kata koordinator aksi, Titi Maryati. Dikatakannya, perda tersebut selama ini belum tersosialisasikan dengan maksimal, terutama di kalangan SKPD terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja. Bahkan, stigma terhadap penderita HIV/AIDS masih cukup tinggi.
Kurangnya pemahaman dan implementasi serta tidak adanya ketegasan pemerintah atas perda itu, membuat perda ini menjadi seperti macan ompong dan dianggap gagal. Untuk itu, mereka minta perda ini direvisi. Ke depan, pihaknya mengusulkan supaya para aktivis ini dilibatkan dan diakomodir dalam penyusunan revisi perda, terutama dalam musrembang karena berkaitan dengan anggaran.
Selain aturan yang harus direvisi, diperlukan pula gerakan masif memerangi HIV/AIDS dengan melibatkan segenap komponen mulai dari pemerintah, pihak swasta, LSM, pengusaha, dunia pendidikan, dan juga masyarakat desa adat. ”Akan sangat efektif kalau ada gerakan masif untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS yang ada di Bali.
Peran serta masyarakat itu harus dilibatkan, baik melalui desa adat maupun pemerintah, seperti KSPAN perlu diberdayakan. Kemudian MMDP dan MUDP juga diberi penguatan, karena dari aturan, mereka bisa kok menurunkan ke aturan yang kecil semacam awig-awig bahwa penderita HIV/AIDS jangan sampai terstigma dan terdiskriminasi, mengingat hal itu masih terjadi di Bali,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi adanya wacana membuat sal atau ruang khusus penderita HIV/AIDS di masing-masing rumah sakit daerah karena hal itu malah akan menstigma dan mendiskriminasikan mereka. Ketua Komisi IV DPRD Bali I Nyoman Parta mengatakan meski perda itu sudah cukup lengkap mengatur pencegahan dan penanggulan HIV/AIDS, memang ada beberapa persoalan yang harus dikaji lagi nantinya oleh pihak dewan dengan SKPD terkait.
Politisi asal Gianyar ini memapaparkan, ada tiga yang harus menjadi fokus perhatian dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pertama persoalan budaya di mana korban HIV/AIDS tidak boleh menyebar terlalu luas. Kedua, peraturan pemerintah yang tidak konsisten yang memungkinkan orang melakukan seks bebas. Ketiga, pemda juga tidak terlalu serius dalam menyiapkan anggaran, baik anggaran penangggulangan maupun anggaran sosialisasi penanggulangan HIV/AIDS yang begitu memprihatinkan.
Terkait apakah dewan mengakomodir desakan para aktivis agar Perda HIV/AIDS direvisi, Parta mengatakan pihaknnya akan mempelajari dulu dan mengoordinasikan dengan Dinas Kesehatan. ”Ini perlu dikaji dulu. Tetapi memang kenyataannya perda yang telah kita buat, saya rasa tidak mampu mengatasi betapa cepatnya perkembangan kasus HIV/AIDS di Bali.
Dari sisi pemerintah, harus lebih tegas dalam hal pembiayaan,” jelas politisi PDI-P ini. Berdasarkan data yang ada saat ini, jumlah penderita HIV/AIDS di Bali hingga tahun 2012 mencapai 6.832 orang. Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2011 yang tercatat 5.561 orang.
Dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali, Kota Denpasar menempati urutan pertama dengan jumlah kasus mencapai 2.782, disusul Kabupaten Buleleng 1.280 kasus, Badung 943 kasus, dan Gianyar 482 kasus.
Sumber : www.balipost.co.id