Ourvoice.or.id. Belum lama ini Mexico City telah menjadi kota pertama di Amerika Latin yang memberikan ijin atas pernikahan sejenis. Suatu gebrakan yang sangat berani mengingat akan besarnya peran agama Katholik di dalam komunitas di negara–negara Amerika Latin.
Pernikahan sejenis merupakanissue yang sangat komplek di manapun juga apalagi di negara yang mana pengaruh agama merupakan faktor dominant di dalam masyarakatnya. Di beberapa belahan dunia perilaku homoseksual itu dianggap sebagai sesuatu yang taboo, menjijikkan bahkan melanggar hukum, sekalipun hubungan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Di negara–negara Afrika seperti Malawi, Uganda, Senegal dan Zimbabwe misalnya homoseksulitas bisa mengakibatkan si pelakunya masuk penjara. Sedangkan di Nigeria menjadi gay itu bisa dikenakan hukuman mati. Sungguh menyedihkan bukankah untuk mencintai dan dicintai itu merupakan hak setiap manusia?
Sampai detik ini hanya beberapa gelintir negara yang memperbolehkan pernikahan sejenis, antara lain: Kanada, Spanyol, Afrika Selatan, Belanda, Belgium, Swedia dan Norwegia. Sedangkan di Amerika Serikat hanya ada 5 negara bagian saja yang memperbolehkannya yaitu: Iowa, Massachusettes, Vermont, Connecticut dan Newhampshire.
Marriage is the union of a man and a woman
Dulu sebelum adanya undang–undang dan hukum di dalam kebudayaan modern .. agama dan hukum adat adalah merupakan pedoman yang dipakai untuk menjaga ketertiban di dalam masyarakatnya pada waktu itu. The Do’s and The don’t’s (perintah dan larangan) yang ada di dalam kitab ajaran masing–masing agamalah yang dijadikan patokan atas benar dan salahnya dari suatu tindakan.
Perintah–perintah dalam kitab suci seperti “Jangan mencuri, jangan berzinah, jangan membunuh” adalah hukum yang berlaku pada saat itu. Supaya tidak dituduh berzinah maka sebelum meniduri seorang wanita seorang pria diharuskan untuk menikahinya terlebih dahulu, vice versa.
Di jaman Biblical dulu setahuku tidak ada surat nikah, tapi pernikahan cukup hanya dilakukan dengan melalui suatu upacara di depan pemuka agamanya maka seorang pria dan wanita akan resmi menjadi suami istri. Dan sampai hari ini, 2000 tahun kemudian, definisi pernikahan yang masih kita percayai bersama adalah persatuan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Demikian juga pandangan sebagian besar dunia terhadap hubungan homosexual yang hingga sampai sekarang ini masih banyak mengadopsi pandangan yang berlaku pada jaman itu. Meski harus diakui bahwa keadaannya sudah banyak berubah, terutama di negara–negara barat. Di sana pasangan gay tidak merasa perlu untuk menutupi kegay-annya lagi.
Meskipun demikian bukan berarti sudah tidak ada diskriminasi lagi seperti contohnya hak untuk menikah yang belum bisa terwujud sampai sekarang ini. Thailand, negara yang dikenal sangat toleran dengan kaum gay saja masih tidak mengijinkan pernikahan sejenis. Mind you tolerance doesn’t mean acceptance.
Adopsi anak oleh pasangan gay. Yay or nay?
Pertama kali membaca berita tentang adopsi anak oleh pasangan gay, reaksiku adalah: Hemmh.. seberapa jauhkah tuntutan persamaan hak ini akan dibawa? Is it fair for the child? Begitulah yang ada dibenakku pada saat itu. Sewaktu si anak masih bayi dan belum bisa ber- komunikasi dengan temannya maka segalanya akan berjalan “normal”. Tapi bagaimana nanti seandainya si anak tumbuh besar, masuk sekolah dan mulai menyadari bahwa anak lain mempunyai papa–mama sedangkan dia hanya mempunyai papa – papa atau mama–mama. Aku ingin tahu bagaimana pasangan itu bisa menjelaskan kepada si anak bahwa dia telah dibesarkan oleh pasangan gay. Tentu akan sangat sulit.
Pada saat si anak mulai bersekolah tentu dia akan melihat bahwa keluarganya “berbeda“ dengan anak–anak yang lainnya. Bagaimanakah si anak akan bisa mengerti bahwa bapaknya dulu membayar seorang wanita untuk mengandung dan melahirkan bayinya. Atau kemungkinan mereka akan mengambil jalan pintas dengan memberitahu si anak bahwa ibunya telah meninggal, hiks kasihan anaknya.
Bahkan pasangan heteroseksual yang mengadopsi anak pun mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada si anak bahwa dia tidak keluar dari perut sang mama melainkan dari seorang wanita lain yang tidak pernah dikenalnya. Selain itu anak angkat dari pasangan heteroseksual tidak akan pernah menanyakan soal asal usulnya kalau tidak ada yang memberitahu soal statusnya atau karena bisa melihat sendiri bahwa secara fisik dia sangat berlainan dengan orang tuanya. Misalnya saja seperti anak angkatnya Angelina Jolie, Pax, Zahara dan Maddox yang berlainan ras dari orang tua angkatnya.
Dulu aku punya kenalan seorang cowok asal Brazil di tempat kursus bahasa Perancisku, namanya Silvinho. Ceritanya dia ini ikut di kelas kami lantaran dibawa oleh seorang temanku, si J yang sudah kenal duluan dengannya di sekolahan anaknya. Eniwei, sebelum Silvinho bergabung, si J sudah memberikan briefing kepada kami bahwa yang bersangkutan ini adalah seorang gay. Anaknya teman sekelas anaknya si J. Hah, punya anak ??? tanyaku. Menurut si J, Silvinho dengan partnernya, Roberto mempunyai seorang anak perempuan yang didapat melalui proses inseminasi buatan antara Silvinho dengan seorang wanita Brazil (teman mainnya waktu kecil ) selaku surrogate mothernya.
Waktu itu kami (aku dan Eni) hanya manggut–manggut saja mendengarkan cerita si J ini. Nggak tahu mesti berkomentar apa. Terus terang saja waktu itu aku terpana karena selama ini hanya sebatas membaca berita seperti ini di media–media dan nggak pernah kepikiran kalau suatu hari akan ketemu dengan orang yang sudah melakukannya.
Setelah akrab dengan Silvinho sedikit demi sedikit aku berani menanyakan hal–hal yang sifatnya lebih pribadi tanpa sedikitpun menyinggung mengenai ke-gay-annya itu.
Bagiku, gay itu hanyalah sexual preference, no big deal. Aku lebih tertarik untuk mengetahui siapa berperan menjadi apa di dalam rumah tangga mereka. Ternyata si Roberto itu berperan sebagai suami karena dialah yang bekerja untuk membiayai hidup Silvinho dan anak mereka. Sedangkan Silvinho berperan sebagai istri yang tinggal di rumah, memasak dan mengurus anak. Suatu hari aku memberanikan diri untuk bertanya:
“Silvinho, aku mau tanya jangan marah, ya?“
“Tanya apa dulu dong. Kalau menurutku terlalu pribadi aku nggak mau jawab, ok?“ begitu katanya
“Ok. Itu si Lola apa nggak bingung tuh punya bapak dua?“ tanyaku
“Nggak ah. Dia happy happy saja tuh“ jawabnya
“Terus gimana manggilnya dong. Papa sama papa gitu ye?“
“Idih, nggak dong. Dia manggil aku “papay“ itu bapak dalam bahasa Portugis. Terus dia manggil Roberto “papito“ loe tau kan dari kata “ papi”, jelasnya.
“Iye“
FYI, Roberto, partnernya ini orang Ecuador yang berbahasa Spanyol. Sehari- harinya mereka berkomuikasi di dalam bahasa ibu si Roberto. Sedangkan Lola, anak mereka yang lucu imut–imut itu lancar berbicara dalam tiga bahasa, Inggris, Portugis dan Spanyol, plus sedikit Thai belajar dari nanny-nya.
Suatu hari pas bubaran sekolah, kami berpapasan di hall (dulu aku sering ngikut menjemput anaknya Eni dari sekolah). Seperti biasa para orang tua suka membiarkan anak–anaknya untuk bermain sebentar dengan teman–temannya sebelum digiring ke mobil. Waktu itu Lola, yang dikenal punya banyak energi sedang kejar–kejaran dengan temannya. Saking semangatnya, pas mau belok dia lengah dan kepalanya kejedot tembok. Kami, ibu–ibu yang melihatnya menjerit karena kaget. Secepat kilat Silvinho langsung berlari terus digendongnya Lola dan diciuminya kepalanya sambil membisikan kata–kata untuk menenangkan si anak. Just like any concern mother would do. Entah kenapa aku sangat tersentuh melihat adegan itu.
Dulu aku beranggapan bahwa pasangan gay yang berniat mengadopsi anak itu adalah suatu tindakan yang tidak masuk akal. Tapi setelah mengenal Silvinho dan melihat adegan kejedot hari itu aku jadi mikir lagi. So , bukan tidak mungkin bahwa pasangan gay juga bisa menjadi orang tua yang baik atau bahkan lebih baik daripada pasangan heterosexual.
But then again, what do I know about being a good or bad parent when I don’t have the experience in the first hand. Hahaha…
Lagipula bisa dikatakan kalau perubahan pandanganku itu sifatnya sangat subyektif karena kebetulan saja aku mengenalnya.
Penutup
Senin pagi, grocery day, aku pergi untuk berbelanja barang kebutuhan rumah tangga seperti biasanya. Pas baru mau masuk ke supermarket aku berpapasan dengan seorang cowok tinggi dan wajahnya seperti pernah ku kenal .
“Silvinho! Hei .. apa kabar??“
Cup, cup, cup … cium pipi tiga kali. Sudah lama sekali tidak ketemu Silvinho, semenjak grup Perancis bubaran aku nggak ada kontak sama sekali dengannya.
“Baik, baik. Apa kabar, say ? Aku punya baby lagi loh, cowok, baru 6 bulan umurnya“ katanya dengan ceria
“Weeii.. selamat yaaa…“ kataku lalu memeluknya
“Kapan–kapan ketemuan ngopi, yuk? Sorry nggak bisa ngobrol lama. Banyak urusan hari ini“ katanya lagi. Cup , cup , cup …
“Ciao!“
Penulis : Margharita Fernandes -Thaliand
Sumber : kolomkita.detik.com