Ourvoice.or.id. Pada tanggal 3 Desember 2012 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memberikan penghargaan PROPER kepada PT. Lapindo Brantas Inc. (Lapangan Wunut) Sidoarjo, Jawa Timur, berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 273 tahun 2012 (tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2011-2012).
Peringkat Hijau diberikan karena menurut penilaian KLH perusahaan tersebut dianggap berhasil melakukan efisiensi energi, penurunan emisi, pemanfaatan dan pengurangan limbah B3, penerapan 3R limbah padat non B3, serta sudah melakukan upaya tanggung jawab sosial atau sering disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Pada saat yang sama sudah diketahui umum bahwa PT. Lapindo Brantas Inc. adalah pelaku pelanggaran HAM ketika sejak tahun 2004 terjadi semburan dan luberan lumpur akibat aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh perusahaan tersebut yang sampai saat ini belum dilakukan pertanggungjawabannya.
Dari pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, ditemukan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang dihadapi perempuan di sekitar Kabupaten Sidoarjo setelah dan selama semburan lumpur Lapindo yang belum berhenti sampai saat ini, yang memaksa puluhan ribu warga Porong dan sekitarnya mengungsi dan sampai sekarang menantikan perolehan hak atas penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas perumahan, hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan yang layak.
Kondisi di atas adalah suatu bentuk pencerabutan sumber-sumber kehidupan manusia dimana dalam Konferensi Nasional Pengetahuan dari Perempuan II dengan tema “Perempuan dan Pemiskinan”, yang baru saja selesai diselenggarakan (1 – 4 Desember 2012) di Yogyakarta, Komnas Perempuan bersama berbagai pihak dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil menghasilkan resolusi bersama yang menyatakan bahwa kemiskinan dan pemiskinan terjadi karena paling tidak karena dua hal mendasar, yaitu; kebijakan terkait pembangunan dan sumber daya alam yang bias, serta struktur yang tidak adil dan mencabut sumber-sumber kehidupan rakyat sampai tingkat desa bahkan rumah tangga. Kondisi ini memaksa perempuan yang selama ini ditempatkan sebagai “penjaga” ekonomi rumah tangga, bekerja apa saja untuk bertahan hidup bagi dirinya maupun keluarganya, antara lain dengan menjadi pekerja rumah tangga, pekerja migran, buruh pabrik, buruh tani, buruh kebun, atau menjadi pekerja seks atau perempuan yang dilacurkan (pedila). Kondisi seperti ini menyebabkan lingkaran pemiskinan bagi perempuan terus berlanjut. Pada tahun 2008 ketika melakukan pemantauan awal di lokasi semburan lumpur Porong, Kabupaten Sidoarjo, Komnas Perempuan menemukan sejumlah fakta yang memperlihatkan dampak peristiwa semburan dan luberan lumpur pada kekerasan terhadap perempuan, dan bahkan mengarah pada dimulainya lingkaran pemiskinan.
Gagalnya perusahaan Lapindo dan pemerintah dalam mengatasi berlanjutnya semburan lumpur yang kemudian merebak luas, semakin memperberat kondisi warga Kabupaten Sidoarjo yang kehilangan akses terhadap sumber-sumber kehidupannya. Pemenuhan hak konstitusional warga atas kehidupan yang layak, perumahan, lingkungan yang sehat dan hak atas pendidikan serta kesehatan adalah merupakan tanggung jawab negara.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa semburan lumpur yang terjadi merupakan bencana ekologis, yang berdampak buruk pada kondisi perempuan. Komnas Perempuan meyakini telah terjadi pelanggaran HAM, bukan hanya soal pengungsian, tetapi juga masalah pilihan model pembangunan yang diimplementasikan pada industri pertambangan, minyak dan gas. Model pembangunan ini juga berkaitan dengan masalah tata ruang, masalah ijin pendirian bangunan dan pertambangan pada khususnya, dan masalah hukum pengelolaan sumber daya alam pada umumnya, masalah pendanaan, masalah penanganan korban, dan berbagai macam masalah lainnya.
Kebijakan Pengungsian bagi warga yang mendapatkan dampak lumpur merupakan tindakan pencerabutan warga dari sumber-sumber asli penghidupannya. Utamanya kondisi yang dirasakan oleh perempuan, termasuk nilai sosial, ekonomi dan budaya mereka yang turut tercerabut. Ruang-ruang sosial ekonomi perempuan untuk survive baik secara individu maupun komunal, pun hilang seiring terjadinya pengungsian, yang oleh sebagian warga dianggap karena tanpa ada pilihan lainnya. Kondisi dan dampak buruk seperti ini seyogyanya menjadi pertimbangan penting dalam memberikan penghargaan seperti PROPER pada perusahaan, sebagai program unggulan KLH yang melakukan pengawasan dengan mekanisme public disclosure dengan memberikan insentif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 5 tahun 2011.
Komnas Perempuan merasa prihatin dan menyesalkan pemberian penghargaan PROPER dengan Kategori Hijau kepada sejumlah perusahaan yang bermasalah dengan masalah Sumber Daya Alam (SDA), dan menganggap penghargaan ini merupakan tindakan yang keliru karena memberikan penghargaan pada perusahaan yang justru telah menyababkan kerusakan lingkungan dan pemiskinan warga (komunitas korban), serta telah mencederai rasa keadilan warga negara Indonesia umumnya. Penghargaan ini juga merupakan tindakan yang tidak mendidik kepada perusahaan untuk memperhatikan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan HAM dalam semua proses dan kegiatan yang dilakukan setiap perusahaan.
Komnas Perempuan meminta agar pemerintah memperbaharui kriteria penilaian untuk penghargaan seperti PROPER dengan memperhatikan dan memenuhi hak-hak perempuan baik dalam pemenuhan hak reproduktif, maupun dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Sumber : http://www.komnasperempuan.or.id