Oleh: Tanti Noor Said Paus Benediktus XVI telah kembali memutuskan menentang pernikahan gay. Dalam pidato tahunan Natal kepada karyawan Vatikan, Benediktus mengatakan bahwa homoseksual telah menghancurkan esensi manusia. Dalam hal ini, Paus mendasarkan kisahnya pada nilai-nilai keluarga tradisional. Beliau mengatakan bahwa keluarga “inti terancam” oleh upaya di berbagai negara untuk mengubah “komposisi tradisional keluarga.” Yang dimaksud Paus, dalam konteks ini tentu saja, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu yang diperankan oleh pasangan heteroseksual dan kemudian anak-anak mereka, yang kemudian bergeser menjadi pasangan sesama jenis.
Sementara itu, Perancis, Amerika Serikat dan Inggris sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan kemungkinan pernikahan gay dan adopsi oleh pasangan gay.
Paus dalam sambutannya juga mengutip Rabbi Kepala Perancis Gilles Bernheim, yang dalam kampanye negaranya juga tidak setuju terhadap pengenalan pernikahan gay. Menurut Bernheim, manusia telah memiliki persepsi yang salah jika mereka berfikir bahwa mereka dapat menentukan sendiri identitas mereka. Benediktus bergabung dengan pandangan ini. Menurut Paus, kampanye untuk pernikahan gay dan adopsi gay adalah sebuah serangan terhadap keluarga tradisional yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Ini adalah kedua kalinya dalam waktu singkat Paus terhadap sesama jenis berkuasa pernikahan. Minggu ini beliau menyebutkan dalam pesan damai tahunannya bahwa pernikahan untuk pasangan sesama jenis merupakan bentuk ancaman bagi perdamaian dunia, seperti eutanasia dan aborsi. Dalam konteks Indonesia, kita dapat mengkaitkan hal ini dengan kasus protes keras dari FPI sebagai organisasi masyarakat dan agama yang dominan. Maka di Eropa Barat, kita memiliki Paus dari vatikan. Perbedaannya adalah, banyak golongan konservatif di Eropa Barat tidak sekuat itu meneriakkan ketidaksukaannya terhadap kelompok homoseksual. Hal ini dikarenakan kampanye anti diskriminasi dan Hak Azasi Manusia yang menjadi platform dari negara-negara ini. Maka ketidaksukaan, tidak ditunjukkan besar-besaran, dalam bentuk yang sangat halus dan tidak terlihat. Namun tetap ada. Seperti filosof dan ahli seksualitas Michel Foucault, hal yang subtle ini bukannya tidak berbahaya. Heteronormatif, sangatlah efektif jika datangnya dari institusi yang memiliki legitimasi, seperti agama. Yang sebenarnya memang bertugas untuk melanggengkan nilai-nilai tradisional yang justru menahan arus perubahan. Di saat yang sama, agama juga hadir sebagai pilar yang dipelihara dan mendukung kekuasaan dalam sebuah negara. Jika saya kembali membaca tulisan yang dibuat oleh Mas Dede Oetomo, pakar seksualitas dari Indonesia, maka dijelaskan disana bagaimana praktek homoseksualitas dan transjender sempat menjadi tradisi di tanah air kita. Bahkan pada suku Aceh laki-laki yang bergandengan tangan dengan laki-laki merupakan hal yang biasa. Dalam suku Bugis, kita mengenal adanya Bissu, yang memiliki kekuatan magi. Namun, kedatangan agama besar yang dibawa oleh Belanda, pada saat itu mulai melarang adanya praktek-praktek bersukaan dengan sesama jenis ini. Karena dianggap menyimpang dari segi agama dan dipatologikan. Sejak itu tradisi ini mulai bergeser dan heteronormativitas mengambil alih tradisi seksualitas yang ada di Indonesia. Di dalam konteks barat, heteronormativitas masih sangat kental, dengan pengecualian-pengecualian dan toleransi-toleransi yang disertai aturan HAM terhadap kelompok homoseksual. Toleransi bukanlah berarti hal ini merupakan kewajaran. Toleransi, memiliki makna, bahwa sesuatu yang tidak sesuai, lalu diberi kerenggangan. Ini juga merupakan permainan kekuasaan antara yang dominan dan yang marjinal. Dalam konteks Indonesia, pelanggaran HAM dilakukan secara terang-terangan untuk menekan arus perubahan. Isu-isu penegakan hak-hak kelompok homoseksual masih sangat problematis, baik dalam konteks Eropa barat, maupun di negara-negara yang mendasarkan falsafahnya pada ajaran agama. Tulisan disadur dari NOS, Belanda.