Ourvoice.or.id. Berbicara tentang perjuangan identitas homoseksual, bayangan yang pertama muncul di benak kita adalah ancaman dan penyerangan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis atau reaksioner tertentu terhadap kelompok yang ingin memperjuangkan identitas homoseksual tersebut.
Tidak mengherankan, karena seperti itulah realita di Indonesia saat ini. Jangankan acara terkait pengakuan identitas homoseksual, pengetahuan mengenai homoseksualitas pun acapkali diwarnai ancaman dan tindak represifitas lain.
Tulisan ini mencoba memberi semangat bahwa perjuangan identitas homoseksual adalah bagian dari perjuangan penegakan hak azasi manusia, dan oleh karena itu, bukan saja mungkin, namun harus diperjuangkan di Indonesia. Karena Indonesia termasuk negara yang terbelakang dalam mengakui hak-hak kaum LGBT.
Sampai dengan hari ini aktivitas homoseksual belum mendapat pengakuan legal dari pemerintah, yang tentu saja memberikan dampak negatif bagi kaum homoseksual. Undang-undang yang berdampak pada diskriminasi kaum LGBT juga semakin banyak di tingkatan daerah.
Bagian pertama tulisan ini akan mengajak kita melihat hambatan-hambatan utama perjuangan hak LGBT di Indonesia. Kemudian pada bagian kedua akan mengungkapkan secara ringkas sejarah perjuangan LGBT serta memeriksa kembali langkah dan metode yang dijalankan dalam proses tersebut. Sedangkan bagian ketiga akan berusaha menawarkan rekomendasi metode perjuangan dalam membangun kekuatan menuju pengakuan identitas homoseksual di Indonesia.
Pengakuan identitas seksual adalah tujuan menengah perjuangan hak seksualitas manusia, demi tujuan utamanya yakni perubahan masyarakat yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan seksualitas.
I. Hambatan yang dialami oleh Gerakan Pengakuan Identitas Seksual
Dede Oetomo seorang aktivis gay mengatakan bahwa kita telah memasuki babak baru dalam perkembangan homoseksualitas di Indonesia. Terdapat ruang untuk membicarakan seksualitas manusia. Tahun 1980-an media mengangkat tema homoseksualitas, walau bersifat sensasi. Di tahun 1990-an perbincangan tentang homoseksualitas digabungkan dengan fenomena HIV-AIDS. Walau masih bersifat sangat sempit dan menyudutkan, namun kedua hal tersebut memberikan kemungkinan adanya pendiskusian baru tentang jender dan seksualitas.
Masih menurut Dede Oetomo, walaupun sudah terdapat pembukaan wacana tentang isu jender dan seksualitas, bahkan telah didorong maju oleh terbukanya ruang demokrasi pada era reformasi 1998, namun sama sekali belum cukup untuk memastikan bahwa publik memahami dan menerima keberadaan kaum homoseksual.
Ketika puluhan elemen mahasiswa melakukan demontrasi besar saat kunjungan Presiden Habibie di Solo pada September 1999, anggota Front Pembela Islam (FPI) Surakarta mengancam akan membunuh para aktivis gay yang saat itu merencanakan rapat kerja nasional JLGI (Jaringan Lesbian dan Gay Indonesia). Setahun setelahnya, acara Kerlap Kerlip Warna Kedaton (KKWK) juga mengalami hal serupa, karena menganggap ruang demokrasi telah terbuka, pers pun diundang dalam acara tersebut. Namun di tengah-tengah acara 150 laki-laki, dalam pakaian muslim tradisional, masuk dan menyerang dari barisan belakang, memaksa semua orang berlarian meninggalkan acara.
Saat ini setelah 12 tahun reformasi Indonesia, ruang demokrasi memang lebih terbuka, namun keterbukaannya bersifat formal daripada esensial, karena elemen-elemen yang dianggap pilar demokrasi: seperti kebebasan pers, sistem multipartai, desentralisasi, adalah wujud prosedur demokrasi formal/liberal/institusional/perlementarian, daripada esensi demokrasi yang sebenarnya: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat atau partisipasi rakyat secara langsung mengurusi urusan-urusan kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budayanya sendiri. Oleh karenanya, tidak heran jika masyarakat tertindas: kaum pekerja dan kaum miskin, masyarakat adat, kaum perempuan, kaum LGBT, kaum pemeluk agama atau kepercayaan minoritas, dan kaum minoritas lainnya, tidak mendapatkan hak-hak demokrasi yang selayaknya hingga saat ini. Namun demikian, keterbukaan formal demokrasi ini juga harus digunakan seluas-luasnya (dimanfaatkan) demi perombakan demokrasi yang lebih radikal bagi seluruh kaum tertindas.
Pada bulan Maret 2010, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan dukungannya terhadap langkah Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya untuk tidak mengizinkan Kongres ILGA (International Lesbian, Gay Association) di Surabaya pada 26-28 Maret. Selain itu penyerangan juga dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) ke tempat penginapan peserta konferensi tersebut (Antara News, 25 maret 2010). Pada bulan September 2010, FPI melakukan sweeping terhadap beberapa tempat yang akan melakukan pemutaran film LGBT di Jakarta dalam rangka Q! Film Festival, diantaranya Kantor Pusat Kebudayaan Perancis dan Goethe House.
Dari sepenggal data tentang kasus kekerasan yang dialami oleh kaum LGBT ataupun kampanye terhadap hak-haknya di atas, kita dapat melihat bahwa saat ini hambatan untuk memperjuangkan pengakuan identitas homoseksual di Indonesia masih sangat besar. Hambatan pertama berupa besarnya represifitas terhadap kaum LGBT bahkan di era reformasi paska 1998. Intimidasi, ancaman kekerasan, pembubaran acara, pengkriminalisasian, pemukulan bahkan penangkapan terhadap individu-individu LGBT acapkali terjadi. Tindakan-tindakan tersebut terjadi secara terorganisir dan bukan atas dasar kebencian masyarakat, melainkan penyebaran ketakutan lewat topeng agama yang anti demokrasi. Aksi ini seringkali datang dari institusi dan ormas agama yang reaksioner, fundamentalis atau konservatif, seperti FPI, MUI dan gerakan fundamentalis agama lainnya.
Dalam sweeping pemutaran film homoseksual di Jakarta beberapa bulan lalu, yang, padahal, bermanfaat untuk pembelajaran, Ketua DPD FPI DKI Jakarta, Habib Salim, mengatakan bahwa pemutaran film bertema homoseksualitas itu bertentangan dengan ajaran umat Islam. Jika tidak segera dihentikan, hal ini dapat merusak generasi bangsa, khususnya umat Islam (http://kabarnet.wordpress.com). Pernyataan tersebut jelas merupakan pengkriminalisasian terhadap homoseksual, menganggap bahwa penurunan moral generasi bangsa disebabkan oleh maraknya kampanye tentang homoseksualitas.
Tak hanya mengeluarkan pernyataan, mereka juga menyebarkan ancaman dan berbagai tindakan sewenang-wenang lainnya kepada panitia penyelenggara yang, padahal, sudah melwati prosedur hukum penyelenggaraan kegiatan.
Hambatan kedua, yang lebih fundamental, adalah hegemoni kesadaran identitas heteroseksual dalam kehidupan bermasyarakat. Yakni pengakuan sekaligus pelanggengan terhadap hubungan seksual hanya di antara pria dengan wanita. Oleh karenanya hubungan sesama wanita atau pria (atau hubungan sesama seksualitas) dan bentuk-bentuk lain di luar itu dianggap sebagai sesuatu yang ‘salah’ dan ‘abnormal’.
Pelanggengan ini dilakukan melalui berbagai macam hal yang membentuk kesadaran seseorang, seperti kurikulum pendidikan, seni budaya, ajaran agama, hukum, undang-undang/peraturan, dsb. Kita tentu saja bisa sama-sama melihat bagaimana seluruh perangkat pembentukan kesadaran di atas melanggengkan kesadaran heteroseksual sebagai satu-satunya perilaku seksual yang ‘normal’ bagi manusia.
Negara, melalui struktur aparat keamanannya, seperti kepolisian juga bertanggung jawab terhadap pemaksaan kesadaran heteroseksual dalam kehidupan masyarakat. Karena negara-lah institusi kekuasaan terbesar dan paling bersifat memaksa dalam mengatur sistem kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu tingginya tingkat represifitas yang dialami oleh kaum homoseksual adalah akibat dari ketidakberpihakan negara terhadap perjuangan identitas homoseksual.
II. Metode Perjuangan Gerakan LGBT pada Era Kediktatoran Soeharto
Era kediktatoran Soeharto memang membunuh gerak kaum demokratik untuk berekspresi dan berkumpul, terlebih lagi gerakan LGBT. Soeharto menyeragamkan kehidupan seksual warga Negara, pemaksaan KB, pemberlakukan undang-undang perkawinan yang hanya mengakui perkawinan berbeda jenis, pendoktrinasian tentang norma “keluarga kecil bahagia dan sejahtera”.
Beberapa contoh yang disebutkan tadi merupakan upaya rezim Soeharto untuk meminimalisir perkembangan identitas homoseksual di Indonesia. Namun bukan berarti tidak ada ajang kampanye LGBT pada saat itu. Beberapa momen ajang LGBT dan keterkaitannya dengan gerakan demokratik pada masa kediktatoran Soeharto dan setelahnya, yaitu :
- 1969, Organisasi Wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri. Antara lain difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin. Wadam diciptakan sebagai kata pengganti yang dianggap lebih positif bagi istilah banci atau bencong;
- 1 Maret 1982, berdiri organisasi Gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, bernama Lambda Indonesia yang bersekretariat di Solo. Paska itu segera terbentuk cabang-cabang di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan tempat-tempat lain. Terbit juga buletin G: gaya hidup ceria (1982-1984);
- 1985, Kaum Gay di Yogyakarta mendirikan Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) dengan terbitan Jaka;
- 1 Agustus 1987, berdiri Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara yang kemudian disebut GAYa Nusantara (GN) di Pasuruan, Surabaya, sebagai penerus Lambda Indonesia. Mempunyai terbitan bernama GAYa Nusantara;
- Desember 1993, Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang, DIY. Diikuti sekitar 40 peserta dari Jakarta hingga Ujungpandang. Menghasilkan 6 butir ideologi pergerakan gay dan lesbian Indonesia. GAYa Nusantara mendapat mandat untuk mengkoordinasikan Jaringan Lesbian dan Gay Indonesia (JLGI);
- Desember 1995, KLGI II diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat;
- 1996, Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi partai pertama dalam sejarah Indonesia yang mencantumkan “hak-hak homoseksual dan transeksual” dalam manifestonya;
- 1998, Kongres Perempuan Indonesia yang melahirkan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengakomodir kepentingan kelompok lesbian, biseksual, dan transjender perempuan;
- Juni 1999, Gay Pride dirayakan di Surabaya, kerja sama antara GAYa Nusantara, Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS) dan Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL);
- 2000, Swara Srikandi menjadi representative ILGA Asia-Pasific;
- 2007, lahir beberapa organisasi LGBT di Indonesia seperti Ardhanary Institute, Arus Pelangi, Institute Pelangi Perempuan, dll.
(Sumber: Makalah Gerakan LGBTIQ, Agustine-Ardhanary Institute)
Data di atas memperlihatkan bahwa sekalipun ruang demokrasi sempit di era kediktatoran Soeharto, apalagi bagi gerak kaum LGBT, tidak menghentikan langkah mereka berkumpul dan berkampanye melawan kekerasan dan pengakuan identitas homoseksual. Jika dinilai dari aspek waktu, dalam kurun waktu 5 tahun-an terdapat momen-momen pertemuan wadah LGBT di Indonesia. Sesuatu yang luar biasa mengingat situasi represifitas yang tinggi pada zaman Soeharto waktu itu.
Perkembangan di atas tentunya juga tidak terlepas dari gelombang ke dua gerakan perempuan internasional dan gelombang perlawanan penindasan seksualitas di era 60-70an, yang memberikan landasan bagi berkembangnya gerakan LGBT di Indonesia dan Asia. Tahun 1972, Kelompok LGBT Thailand mulai berani tampil di muka publik lewat pementasan seni.
Tahun 1980, Tony Perez, seorang penulis asal Filipina menerbitkan sebuah novel berjudul “Cubao 1980” yang dalam salah satu babnya memuat tentang pergerakan kaum gay berjudul “The First Cry of The Gay Liberation Movement in the Philipines”. Tahun 1984, Jepang menyelenggarakan pertemuan Gay dan Lesbian secara internasional yang disebut dengan JILGA (Japanese International Lesbian and Gay Association). Pertemuan JILGA ini diorganisir oleh seorang aktivis homoseksual di Jepang bernama Theishiro Minami.
Pembelajaran yang dapat kita ambil dari data di atas salah satunya adalah tentang metode perjuangan yang dilakukan oleh gerakan LGBT pada era 90-an. Data di atas memperlihatkan bahwa selain pembangunan wadah-wadah LGBT di beberapa daerah, terdapat pula pertemuan atau semacam agenda konsolidasi nasional berbagai macam wadah LGBT di Indonesia, yaitu yang terjadi pada tahun 1993 serta 1995 dan berwujud dalam Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI).
Pertemuan atau konsolidasi secara nasional ini mempunyai makna penting bagi perjuangan kaum LGBT di era kediktatoran Soeharto, karena dengan mempertemukan wadah-wadah LGBT secara nasional akan memberikan semangat pada setiap wadah LGBT bahwa perjuangan menuntut pengakuan hak-hak LGBT tidak dilakukan sendiri oleh satu wadah tertentu, melainkan bersama-sama dengan berbagai wadah LGBT di daerah-daerah lain dengan berbagai situasi dan kesulitan yang dihadapinya.
Selain itu, pertemuan secara nasional juga akan memberikan ruang untuk berbagi pendapat dan perdebatan tentang berbagai macam metode yang akan dipakai dalam memperjuangan hak-hak LGBT di Indonesia. Dan yang terpenting, konsolidasi tingkat nasional akan bermakna bahwa perjuangan harus dilakukan secara nasional dengan keragaman problematika di masing-masing daerah.
Hal lain yang menarik dari data di atas adalah pada beberapa momen perjuangan LGBT di tahun-tahun sebelum 1998, terdapat solidaritas bersama dari organisasi-organisasi demokratik di luar LGBT yang ikut mengkampanyekan pengakuan identitas homoseksual, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Koalisi Perempuan Indonesia.
Tentunya solidaritas itu terjadi bukan tanpa landasan. Keterlibatan gerakan demokrasi dalam perjuangan pengakuan identitas seksual dapat dimaknai sebagai simbiosis mutualisme di antara keduanya. Gerakan demokrasi mempunyai kepentingan untuk memperjuangkan pengakuan terhadap identitas seksual karena demokrasi sesungguhnya berarti keterbukaan ruang untuk berekspresi dan memilih orientasi seksual bagi setiap orang, tanpa represifitas dan diskrimasi.
Kebebasan memilih orientasi seksual akan memberi ruang seluasnya bagi setiap orang agar lebih maksimal berkreasi dan berkontribusi untuk memperbaiki peradaban manusia menjadi lebih baik dan indah untuk seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan landasan utama perjuangan demokrasi yang sejati: yaitu perjuangan untuk menghancurkan setiap penindasan yang menghambat seseorang untuk berpikir, berkreasi, mengembangkan potensi dirinya dan berkontribusi bagi perubahan peradaban manusia menjadi lebih baik.
Di sisi lain, penerimaan masyarakat tentang identitas homoseksual juga berkaitan dengan perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal itu dikarenakan peningkatan kesadaran tentang demokrasi (melalui pembelajaran yang demokratis, kebebasan berpendapat, berekspresi, memilih orientasi seksual, dll) akan memberikan ruang yang lebih luas bagi kemajuan gerakan kaum LGBT dan perubahan pemahaman masyarakat, sedangkan sebaliknya, penurunan terhadap demokrasi akan semakin mengecilkan ruang bagi dukungan terhadap dan gerakan LGBT itu sendiri. Oleh karenanya, keterlibatan gerakan pengakuan identitas seksual dalam perjuangan demokrasi di Indonesia adalah kebutuhan.
III. Upaya Pembangunan Kekuatan Menuju Pengakuan Identitas Homoseksual di Indonesia
Uraian di atas memberikan kita gambaran tentang bentuk-bentuk hambatan dan metode perjuangan pengakuan identitas homoseksual di Indonesia. Satu perjuangan yang berat, namun benar, dan tidak berarti mustahil dilakukan. Ketetapan dalam merumuskan hambatan, mencari sekutu-sekutu perjuangan serta metode perjuangan, dapat mendekatkan kita pada pengakuan identitas homoseksual di Indonesia.
Dalam uraian di atas terlihat pula upaya pengakuan identitas homoseksual yang dilakukan oleh gerakan LGBT di Indonesia dalam aspek nasional maupun internasional. Terdapat pelaksanaan agenda-agenda bersama yang dilakukan oleh gerakan LGBT, seperti JLGI, KKWK 2000, Yogyakarta Principles, Konferensi ILGA dll.
Dalam Yogyakarta Principles misalnya terdapat 29 prinsip yang patut dipatuhi oleh suatu Negara terkait dengan orientasi seksual dan pengakuan identitas jender seseorang seperti hak atas keamanan seseorang (pasal 5), ha katas privasi (prinsip 6), dst. Secara umum, visi yang diangkat dalam agenda-agenda konsolidasi di atas—yang juga diyakini oleh gerakan LGBT di Indonesia—yaitu usaha untuk mewujudkan tatanan masyarakat atau sosial yang menghargai dan menghormati keberagaman seks, jender dan seksualitas.
Uraian di point III ini mencoba menambahkan strategi pengakuan identitas homoseksual di Indonesia berdasar dari situasi yang telah dipaparkan pada uraian sebelumnya, agar visi yang sudah sekian kali ditegaskan oleh gerakan LGBT di Indonesia menjadi lebih dekat untuk direalisasikan.
Melihat dari sejarah perjuangan kaum LGBT di Indonesia serta situasi kemunduran demokrasi di Indonesia, adalah sebuah kebutuhan bagi gerakan LGBT, gerakan pembebasan perempuan, dan gerakan untuk perubahan masyarakat secara keseluruhan untuk saling melibatkan diri dan bersolidaritas menyusun langkah-langkah perjuangan bersama untuk, paling tidak, yang mendesak saat ini adalah melawan berbagai tindakan reaksioner ormas-ormas fundamentalis dan institusi-institusi pendukungnya, termasuk negara dan pemerintah SBY-Boediono. Berbarengan dengan itu, kampanye, diskursus, dan pendidikan terbuka melawan dominasi wacana heteroseksualitas sebaik-baiknya dilakukan dengan lebih sistematis, bekerjasama dengan seluruh pihak yang dapat mendukung langkah-langkah tersebut.
Beberapa hal yang cukup sederhana, yang dapat memberikan kita landasan untuk membangun kekuatan menuju pengakuan identitas homoseksual di Indonesia, antara lain :
1) Pendidikan, Bacaan, Terbitan Reguler
Arti penting pendidikan, bacaan, dan terbitan reguler ini adalah, pertama, sebagai alat yang digunakan untuk melawan hegemoni dan doktrinasi kesadaran heteroseksual yang dipaksakan negara melalui berbagai macam perangkatnya. Kedua, pendidikan yang secara menyeluruh mengupas landasan pengakuan identitas homoseksual, sejarah perjuangan homoseksual, hal-hal yang menghambat perjuangan tersebut di masa kini, juga diharapkan menjadi alat atau sarana yang mampu meningkatkan keberanian kaum homoseksual untuk coming out (tampil secara terbuka) dan berkampanye untuk pengakuan identitas tersebut.
Walaupun coming out bukanlah sebuah keharusan dalam memperjuangkan hak seksualitas, namun secara politik tindakan ini penting untuk memunculkan keberanian melawan dominasi dan penindasan norma heteroseksualitas. Memang, seringkali, situasi represif yang dialami kaum homoseksual memunculkan ketidakberanian untuk tampil di muka publik bahwa “aku homo dan aku layak diakui sebagaimana hetero”.
Selain aspek isian, hal lain yang juga penting dalam pendidikan dan bacaan ini adalah aspek regularitas dan massal. Penyadaran terhadap landasan pengakuan identitas seksual seringkali hanya terbatas pada beberapa orang, dalam suatu pelatihan intensif atau semacamnya. Berangkat dari makna penyadaran yang diharapkan sebagai counter hegemoni heteroseksual, maka bacaan atau terbitan yang memuat landasan dan kebutuhan perjuangan pengakuan identitas seksual sebaik-baiknya bersifat regular, massal atau banyak, sehingga bacaan tersebut tidak hanya menjadi konsumsi beberapa orang namun juga masyarakat luas.
2) Forum Bersama Gerakan LGBT dengan Gerakan Demokrasi yang lain
Tidak hanya untuk memperbanyak barisan dalam aksi-aksi massa perayaan momentum LGBT seperti IDAHO (International Day Against Homophobia) dll, makna forum bersama ini mempunyai maksud yang lebih strategis.
Adanya forum bersama antara gerakan LGBT dan gerakan demokrasi yang lain dimaksudkan agar isu-isu atau landasan perjuangan identitas homoseksual dan hubungannya dengan perjuangan untuk masyarakat baru juga menjadi keyakinan bagi gerakan demokratik yang lain, seperti gerakan menuntut upah layak bagi buruh, gerakan kampanye pendidikan gratis, dsb, lewat diskusi, perdebatan dan tukar pendapat yang dilakukan di antara keduanya. Melalui forum-forum bersama seperti itulah diharapkan muncul strategi-strategi baru dan pengumpulan kekuatan yang lebih besar dalam mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia.
3) Memanfaatkan peluang institusional
Menemukan peluang institusional agar hak dan keragaman seksualitas masuk menjadi kurikulum pengajaran resmi di sekolah-sekolah dan institusi formal lainnya, adalah target politik yang dapat dilakukan sejak sekarang, termasuk menyertakan keragaman seksualitas sebagai hak azasi manusia dalam berbagai rancangan UU dan peraturan lainnya.
Namun, ini semua adalah langkah afirmatif yang dapat dilakukan dan dimenangkan hanya melalui pergerakan massa. Karena negara ini dan segala perangkat serta sistem ekonomi, politik, sosial dan budayanya, tidak akan berpihak dengan sukarela terhadap hak-hak rakyat tertindas, termasuk rakyat yang mengalami penindasan seksualitas. Sehingga tujuan utama perombakan negara dan pergantian kekuasaan yang anti demokrasi menjadi kekuasaan rakyat yang partisipatif dan demokratik adalah agenda yang tidak kita tunda-tunda atau tunggu kelahirannya. Kita semua berkepentingan.
Penulis : Mutiara Ika Pratiwi
Sumber :http://koranpembebasan.wordpress.com
* Tulisan ini dipublikasikan dalam Buletin Mahardhika, yang diterbitkan oleh Komite Nasional Perempuan Mahardhika pada Maret 2011.
** Ketua Umum Pusat Pergerakan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), anggota Perempuan Mahardhika