Hartoyo* Ourvoice.or.id – Baru saja Donny Damara mendapatkan Piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia 2012 yang berperan sebagai Waria dalam film “Lovely Man” yang diselenggarakan Yogyakarta, 8/12/2012. Tentu sangat layak akting apik Donny sebagai seorang Waria yang mempunyai anak perempuan mendapatkan penghargaan itu. Menurut saya, film “Lovely Man” bukan hanya menarik dari ide cerita tetapi punya pesan moral dan spiritual menggambarkan fakta kehidupan manusia, khususnya kehidupan Waria di Indonesia. Tanpa dilebih-lebihkan yang selama ini banyak digambarkan tokoh waria dalam media komersil. Sayangnya pesan moral itu tidak diikuti dalam tindakan Donny Damara ketika mengambil piala citra di FFI. Donny sama sekali tidak mengucapkan terima kasih ataupun meyinggung apapun tentang waria saat itu. Selain meyebut nama Jhon Badalu, pendiri Q-Film Festival yang sepertinya memberikan pengaruh tentang keaktorannya dalam film “Lovely Man”. Walau dalam account twitter, Donny menyatakan “dalam beberapa kali interview di Hongkong dan Jakarta saya mengutarakan kekaguman saya dan berterima kasih kepada waria”, ungkap Donny Damara. Tentu saya sebagai aktivis hak-hak waria menjadi kaget, bagaimana mungkin sebuah cerita dan peran yang bagus tidak “menginternalisasi” nilai-nilai diri pada sang aktor terhadap keberpihakan pada “subjek” cerita? Dalam hal ini kelompok Waria.Tentu keberpihakan tidak bisa diukur dari ucapan terima kasih saja, minimal panggung FFI menjadi sangat strategis bagi Donny Damara untuk melakukan pendidikan publik, bahwa waria manusia sama dengan warga negara lainnya seperti yang dia ungkapkan dalam harian Kompas, 14/12/2012 “ternyata apa yang kita bayangkan tentang waria banyak salahnya karena sejak awal kita mengambil jarak”, ungkapnya. Diskusipun kemudian semakin berlanjut di twitter bersama film maker Indonesia lainnya, apakah seorang aktor/aktris mempunyai tanggungjawab moral pada subjek cerita? Aktris Jajang C Noer dalam account twitter @ibutjantik menyatakan : “@DonDamara mesti bilang thank ke kelompok waria….kan dia sukses karena potensi aktingnya? ngak ada hubungan dengan waria:)”. Ungkapan Jajang itu membuat saya bertanya, benarkah Donny Damara sukses tanpa peran kelompok waria? sehingga Donny tidak perlu minta terima kasih kepada waria. Donny Damara bukan seorang waria, tentu sedikit banyaknya pasti dia banyak belajar dari kehidupan waria untuk berperan sebagai tokoh Waria. Donny sendiri mengungkapkan dalam liputan harian Kompas bahwa ada riset selama 3 bulan dan 25 tahun bersama bersama kelompok waria, artinya Donny belajar banyak kepada waria. Apakah menjadi berlebihan, ketika seseorang sukses dari belajar dengan pihak lain untuk mengucapkan berterima kasih ataupun memikirkan nasib hidup kelompok tersebut? Ang Lee ketika mendapatkan Oscar sebagai sutradara terbaik dalam film Brokeback Mountain mengucapkan diatas panggung bahwa penghargaan ini kemenangan bagi kelompok gay. Apa yang dilakukan Ang Lee juga banyak dilakukan oleh seniman luar negeri lainnya untuk penegakan hak-hak homoseksual, seperti pasangan Brad pitt dan Angelina Jolie, Lady Gaga, Madonna, Ricky Martin, Opprah Wimfrey dan lainnya. Sebenarnya seniman-seniman di Indonesia juga banyak yang mempunyai moral pembelaan pada keadilan, seperti penyanyi Grand Fadly, Rieke Diah Pitaloka, Slamet Rahardjo, Frangky Sahilatua, Ratna Sarumpaet, pematung Dolorasa Sinaga dan masih banyak lagi. Obrolan di twitter ini ditimpalin oleh artis Ria Irawan dalam account twitternya @riairawan menyatakan : “objek cerita,moral cerita bukan notabene tanggung jawab aktor,producer,script writer,audience/viewers juga gak dituntut moral film.” Ria menegaskan aktor ya aktor, tidak punya tanggungjawab moral apapun pada sang “objek” cerita. Dari diskusi tersebut semakin jelas bahwa sebagian aktor-aktris ataupun seniman masih menganggap bahwa karya “seni ya karya seni” tidak ada tanggungjawab moral apapun terhadap keadilan manusia. Menurut filusuf Jerman, Max Scheler nilai mempunyai empat tingkatan, 1. Nilai seni tentang baik-buruk dalam konteks indrawi, 2. Nilai vital yang meyangkut soal keberanian dan kebesaran hati, 3. Nilai keadilan dan keberanan (sesuai fakta), 4. Nilai spritual (nilai tertinggi). Artinya karya seni yang bernilai estetika tinggi jika sesuai realita dan bertujuan menegakan nilai-nilai keadilan dan spritualitas manusia. Seni tidak cukup ditampilkan enak dilihat saja tetapi harus jauh dari itu, ada pesan moral yang ingin disampaikan. Sehingga menurut saya, aktor-aktris yang merupakan bagian dari pekerja seni (seniman) mempunya tanggungjawab moral dalam karya-karyanya terhadap keadilan manusia. Karena menjadi seorang aktor-aktris tidak hidup dalam ruang hampa. Jika seni dipahami hanya seni tanpa punya tanggungjawab moral untuk mengubah masyarakat yang lebih adil, maka seni itu kehilangan nilai estetika yang paling puncak. Mungkin jika mengacu pada pemikiran Scheler baru tahap point 1. Saya meyebutnya “Seni yang Onani”. Situasi ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada kerja-kerja seniman saja, tetapi juga bidang-bidang penelitian. Menurut aktivis perempuan dan pengacara Nursyahbani Katjasungkana dalam account facebooknya meyebutkan “ bukan hanya seniman yang melakukan ini tetapi juga peneliti sering menempatkan subjek penelitian hanya sebagai objek”. Tidak ada tanggungjawab moral apapun untuk mengubah keadilan bagi sang subjek penelitian. Setelah mendapatkan data dan informasi tentang apa yang diteliti, soal nasib hidup dan keadilan bagi subjek bukan tanggungjawab sang peneliti. Hal ini ini sama dengan seorang aktor yang diungkapkan diatas, setelah riset dan mendapatkan informasi, maka saat itu tidak ada tanggungjawab apapun terhadap subjek cerita yang sedang diperankan. Bahkan untuk mengucapkan terima kasih-pun dirasa tidak ada perlu dilakukan. Apa yang disampaikan oleh Nursyahbani menjadi relevan bahwa menjadi aktor-aktris ataupun bidang seni lainnya menjadi “keharusan” memiliki tanggungjawab moral terhadap subjek cerita. Tentu caranya bisa dilakukan bermacam-macam, tidak hanya ucapan terima kasih diatas panggung ataupun media. Ini perlu dilakukan karena karya seni punya tangggungjawab moral pada keadilan manusia. Jika kembali pada diskusi twitter bersama aktor/aktris diatas, jika seni yang dihasilkan hanya untuk kepentingan, pemodal, ketenaran dan penghargaan semata, maka seni telah “diperkosa” atau “dilacurkan”. Saat itulah seni telah kehilangan nilai estetika. Seni telah menjadi barang dagangan semata. Tidak lebih! *Ketua Ourvoice dan Mahasiswa Kursus Filsafat Estetika STF Driyarkara