Ourvoice.or.id. Deklarasi HAM yang diresmikan ASEAN pada KTT di Kamboja justru memungkinan terjadinya pelanggaran HAM. Ini menurut Verena Harpe dari Amnesty International Jerman.
Deutsche Welle: Setelah lama berunding, sepuluh negara anggota ASEAN akhirnya meresmikan deklarasi HAM pada KTT di Phnom Penh. Hal yang berkesan positif. Namun, organisasi HAM tetap mengeritik tajam deklarasi tersebut. Apa sebabnya?
Verena Harpe: Kini naskah deklarasi sudah dipublikasikan. Dari sudut pandang Amnesty International, kami harus mengatakan: Deklarasi HAM ini tidak berhak menyandang nama tersebut. Hingga akhir kami juga menuntut, agar naskah tidak dalam bentuk seperti
itu, karena tidak sesuai dengan standar HAM internasional. Misalnya, HAM boleh dibatasi karena keamanan publik, moral publik dan ketertiban publik. Ini tidak jelas maknanya dan memiliki celah bagi penyalahgunaan. Ada juga kalimat yang mengatakan, bahwa HAM dan hak asasi harus sesuai dengan kewajiban. Ini tidak sesuai dengan prinsip HAM.
Apakah menurut Anda deklarasi HAM tersebut adalah sebuah ‘lelucon’ belaka atau hal positif karena setidaknya dicapai kesepakatan untuk mensahkan dokumen semacam itu?
Isi deklarasi saat ini harus diakui, memungkinan adanya pelanggaran HAM. Jadi, orang yang memiliki pandangan politik berbeda dan mengutarakannya secara damai, bisa dianggap melakukan kejahatan kriminal. Ini terjadi di sebagian anggota ASEAN. Beberapa bulan lalu di Kamboja misalnya, pria 71 tahun dihukum 20 tahun penjara karena tuduhan yang tidak jelas. Para blogger di Vietnam juga dijebloskan ke tahanan. Memang di satu sisi, mewujudkan mekanisme regional semacam ini adalah hal yang baik, tapi tidak dalam bentuk seperti ini
Anda telah menyinggungnya. Beberapa dari sepuluh anggota ASEAN kerap dikritik karena masalah HAM. Pimpinan komunis di Vietnam bersikap keras terhadap pengeritik rezim, atau Myanmar yang memang perlahan membuka diri, tapi pelanggaran HAM tetap menjadi bagian dari keseharian di sana.
Tentu. Ini masalah besar. Juga di Myanmar. Memang ada beberapa reformasi, tapi setelah pemberian amnesti terakhir, saat Obama berkunjung, masih banyak tahanan politik di penjara. Pelanggaran juga masih dilakukan di kawasan etnis minoritas. Contoh paling jelas adalah perkembangan di Kamboja jelang KTT ASEAN. Warga yang ingin mengadakan aksi protes terhadap deklarasi HAM ditekan habis-habisan. Saat informasi tentang rincian deklarasi terungkap ke publik, pemerintah Kamboja mematikan listrik dan menutup tempat mereka berkumpul. Hotel dan losmen diintimidasi agar tidak menyediakan penginapan bagi mereka. Ini kenyataan di beberapa negara ASEAN dan kami khawatir deklarasi HAM akan semakin memperburuk praktik semacam ini.
Anggota ASEAN memiliki sistem politik yang berbeda-beda. Ada negara demokrasi seperti Indonesia dan Filipina, monarki konstitusional di Kamboja dan Thailand, atau negara satu partai komunis Vietnam dan Laos. Apakah mungkin mencapai “satu suara” dalam masalah HAM?
Ya, memang sangat berbeda-beda. Kami dari Amnesty International tidak terlalu peduli degan bentuk kenegaraannya. Bagi kami yang penting adalah jaminan ditegakkannya HAM.
Tapi bukankah kondisinya tergantung dari bentuk kenegaraannya juga?
Memang benar. Tapi kami juga mengamati pelanggaran HAM berat di negara-negara seperti Indonesia atau Filipina. Masih dibutuhkan proses. Ini juga apa yang kami harapkan dari deklarasi HAM. Agar setidaknya ada standar yang diakui secara internasional dan mencoba memperbaiki situasi HAM di masing-masing negara. Komisi HAM ASEAN misalnya, yang ada sejak 2009, tidak boleh menerima keberatan dari individu dan hanya bekerja secara konsensus. Ini tidak sesuai dengan mekanisme HAM regional lain. seperti Afrika atau Amerika Latin, jika memiliki negara dengan catatan HAM yang buruk. Tetapi, mereka punya deklarasi yang jelas. Ini yang kami kritik pada ASEAN.
Verena Harpe adalah pakar Asia di Amnesty International Jerman.
Sumber : http://www.dw.de