Search
Close this search box.

Oleh *Tanti Noor Said

Tanti Noor Said

Wacana tentang coming out, belakangan ini cukup gencar disosialisasikan. Sosialisasi tersebut bukan hanya datang dari kalangan aktivis, organisasi gay dan transjender dan kesetaraan jender, namun juga per individu. Terus terang, sebelum memfokuskan perhatian akademis dan sosial saya terhadap kelompok gay dan transjender Indonesia, yang lebih sering saya panggil dengan bahasa lokal, banci dan waria, saya tidak begitu sadar akan gencarnya sosialisasi isu ini. Ketika saya memulai penelitian lapangan (field work) saya, barulah saya sadar, betapa gencarnya wacana ini disosialisasikan. Dalam masyarakat yang menganut heteronormatif sebagai ideologi seksual (nilai dasar yang menuntun seseorang atau sekelompok orang dalam seksualitas), homoseksualitas dianggap tabu atau terlarang. Penganut ideologi heteroseksualitas, tidak harus hetero atau mempraktekkan gaya hidup heteroseksual dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam intinya mereka percaya bahwa hubungan asmara atau praktek seksual hanya boleh dilakukan oleh sepasang manusia dari jenis kelamin yang lahiriah berbeda (sehingga berhubungan dengan transjender bisa diklasifikasikan dalam homoseksual juga).   Coming Out sebagai sebuah konsep Istilah coming out, hadir sebagai sebuah konsep yang ditujukan untuk kaum homoseksual. Yaitu mengakui bahwa mereka tertarik dengan sesama jenis kepada orang di sekelilingnya. Maksud dan tujuan dari coming out ini bermacam-macam. Antara lain kebutuhan untuk seorang gay atau homoseksual untuk mendapatkan dukungan psikologis dan emosional dari orang-orang disekelilingnya. Dukungan dibutuhkan karena adanya perasaan tidak nyaman dan bersalah menjadi seorang homoseksual. Belum lagi, kepercayaan bahwa homoseksual adalah sebuah penyakit psikologis, ini disebut juga mempatologi diri sendiri. Keresahan ini, tentu saja tumbuh dari nilai-nilai dominan heteroseksual yang di dapat oleh setiap individu sejak usia yang amat dini dan telah terkultivasi sangat dalam (embedded). Selain tujuan untuk mendapatkan dukungan, ada lagi tujuan lainnya yaitu untuk mensosialisasikan keberadaan komunitas yang menganut orientasi homoseksual terhadap masyarakat luas. Kebutuhan ini ada dikarenakan kesadaran para gay secara individu dan organisasi homoseksual akan hak-hak dan keberadaan mereka yang tidak diakui oleh masyarakat luas yang menganut heteroseksual. Selain itu, banyak juga perlakuan yang diskriminatif dan kadang mengarah kepada kekerasan, baik mental maupun fisik, yang ditujukan kepada kaum homoseksual. Dengan tersosialisasinya coming out dalam masyarakat, diharapkan dapat mengeliminasi homofobik yang ada dalam masyarakat yang sangat heteronormatif.   Pro dan Kontra Coming Out

Judith Butler at a lecture at the University of Hamburg, April 2007.(Photo by Wikipedia/ Jreberlein)

Namun, ada pro dan kontra dalam wacana coming out ini. Perdebatan mengenai strategis atau tidaknya coming out dilakukan oleh kaum homoseksual terjadi dalam kelompok aktivis, akademisi dan para homoseksual sendiri. Bahkan, apakah coming out ini merupakan sebuah pernyataan dan sikap politik yang akan menolong kaum homoseksual untuk mendapatkan persamaan hak, mulai dipertanyakan. Judith Butler, seorang feminis dan filosof lesbian tidak menyatakan pro terhadap ide coming out. Menurut penganut Foucault ini dalam sebuah wawancara, setiap individu memiliki multi identitas. Ia seorang akademisi dan professor. Ia juga seorang perempuan. Ia seorang gay. Dan banyak lagi perannya dalam masyarakat yang sebenarnya ditentukan oleh kebutuhan atau konteks dimana dia berada. Jadi, apa perlunya hanya mensosialisasikan kepada publik mengenai orientasi seksualnya. Menurut Butler yang cukup mengikuti pemikiran-pemikiran filosofis dari Foucault ini, justru ide “coming out” sendiri, hadir dari masyarakat yang homofobik. Jika seorang homoseksual coming out dari sebuah closet, ada berapa closet yang harus dilaluinya? Berapa kali seumur hidup seseorang harus coming out. Dan kepada siapa saja? Karena coming out ini akan menjadi proses secara terus menerus, dan bukan peristiwa yang terjadi satu kali yang kemudian semua akan selesai (Butler, 1991). Dan dalam logikanya, jika seseorang melakukan coming out, karena sadar bahwa diri mereka “deviant” atau “menyimpang” dari kaum mayoritas, kembali ke argument Butler, maka sama saja, kaum homoseksual menyatakan harus memberikan pertanggungjawabannya kepada kaum heteroseksual. Kecuali ini juga terjadi di kalangan kaum heteroseksual yang berarti bahwa, mereka juga punya kebutuhan untuk menyatakan bahwa mereka heteroseksual kepada masyarakat umum.   Coming Out mempertimbangkan nilai-nilai lokal dan latar belakang keluarga Coming out menjadi topik sehari-hari dalam percakapan para kawan-kawan, baik gay maupun transjender. Beberapa orang pro dan menyatakan bahwa diri mereka lepas dari beban psikologis, ketika sudah “ketahuan banci” dan “menyukai sesama jenis” atau istilahnya pecah lobang. Tidak harus ada peristiwa coming out, tapi ada beberapa keluarga, yang sejak dini, mendeteksi atau menangkap basah putra mereka bukan heteroseksual. Ada yang diterima oleh keluarga, dengan tanpa perlawanan yang emosional. Ada pula yang menjadi konflik, dan akhirnya membuang diri dari keluarga. Hal ini bukan hanya terkait dengan agama yang dianut oleh keluarga, seperti yang difikirkan banyak orang. Kadang keluarga yang sangat muslim atau katolik dapat menerima anaknya yang ketahuan homoseksual dengan tangan terbuka. Kadang hal ini lebih ada hubungannya dengan kehormatan keluarga. Itu sebabnya banyak banci atau waria yang tinggal di luar rumah. Sebagian kemudian dapat hidup mandiri dengan pekerjaan sebagai pekerja salon atau pegawai bar di tempat-tempat pariwisata seperti di Bali. Sebagian akhirnya hidup di jalan sebagai pekerja seks. Namun, proses yang dilalui oleh para teman-teman homoseksual, baik gay maupun transjender, sangatlah problematis dan penuh konflik bathin dengan adanya perasaan bersalah dan berkewajiban untuk coming out. Ketakutan bahwa mereka akan mengecewakan orang tua dan anggota keluarga lainnya, merupakan beban mental yang cukup berat. Ketakutan akan pecah lobang pun tidak kalah beratnya. Dari penelitian saya terhadap para migran gay dan transjender Indonesia, terbukti, bahwa jarak yang ada pada saat ini, karena mereka tinggal jauh dari keluarga, juga menimbulkan ketenangan bathin tersendiri. Bukan hanya perasaan tidak nyaman terhadap keluarga, namun juga masyarakat yang menghujat dan tidak menerima homoseksual. Dalam konteks Indonesia, pecah lobang atau ketahuan, sepertinya cara yang lebih alami dibandingkan dengan coming out. Mungkin, ini terkait dengan kesulitan beberapa individu untuk bicara jujur karena takut durhaka dengan orang tua, yang menjadi perbedaan antara teman-teman gay di Indonesia dengan di negara-negara yang ada di Eropa Barat.     Kesimpulan Di dalam artikel ini, tidak dibahas, cara seperti apa yang paling baik yang harus dilakukan oleh para gay dan transjender Indonesia untuk kemajuan pergerakan kesetaraan jender. Namun disini lebih diceritakan, bahwa ada keragaman kasus dan situasi yang membuat kasus coming out sangat problematis dan kompleks. Jika seorang memutuskan untuk coming out, terutama dengan kepercayaan bahwa itu adalah jalan yang terbaik, bagi dirinya sendiri ataupun bagi masyarakat, dan siap untuk menjalani segala konsekuensinya, maka itu adalah hak baginya. Namun, untuk para gay dan transjender yang merasa nyaman tidak diketahui identitas seksualnya, karena menurut saya pribadi memang tidak harus, maka itu pun merupakan hak mereka. Dan jika kesetaraan yang kita cari, inilah bentuk kesetaraan yang paling dasar yang harus dihormati. Referensi 1991: “Imitation and Gender Insubordination” in Inside/Out: Lesbian Theories, Gay Theories *Penulis adalah Antropolog lulusan Program Master Antropologi Universiteit Van Amsterdam