Ourvoice.or.id. Sepintas, Azzah (40) tak ada bedanya dengan ribuan perempuan muslim di kota Amsterdam, Belanda. Sepasang mata menyembul di balik jilbab ketat hitam, rok terusan gamis selutut, dan stocking berwarna senada. Ia menggenggam tas trendi wadah iPad. “Halo, saya Azzah!” ujarnya memperkenalkan diri. Lima tahun silam, Azzah menjalani operasi ganti kelamin di Rumah Sakit OLVG, Amsterdam. Ia ditangani oleh dokter bedah muslim, R.B. Karim, dan seorang asisten keturunan Iran.
“Saya diperbolehkan mengenakan kerudung di kamar bedah. Seusai operasi, dokter Karim menyematkan Quran di telapak tangan saya. Saya sengaja memilih ahli bedah beragama Islam. Lebih sreg rasanya mempercayakan tubuh saya dan perawatan pasca operasi kepada orang seiman,” lanjut Azzah. Ia menjadi salah satu pembicara di seminar bertajuk “Homoseksualitas dan Islam” di Amsterdam, Sabtu (19/2) lalu.
Dua tema tersebut seringkali dianggap pemicu konflik. Selebaran undangan seminar itu pun mencantumkan “Lesbian, biseksual, gay, dan transjender muslim terbentur dilema. Mereka harus memilih antara keyakinan dan cinta”. Azzah paham problematika ini. Sewaktu masih berkelamin pria, ia menjabat manajer di salah satu perusahaan telekomunikasi terkemuka Belanda. Sekarang, ia bekerja sebagai praktisi psikoterapi di sebuah klinik.
Azzah pernah cukup lama menjalin hubungan dengan pria asal Maroko. “Kami mencintai satu sama lain, tapi tak dapat hidup di bawah satu atap,” terang Azzah. “Ia besar di keluarga muslim fanatik dan mereka mulai mengendus jati diri saya. Hubungan kami bakal membawa aib jika diteruskan,” lanjutnya. Azzah tak banyak mengungkit soal keluarganya sendiri. “Yang jelas, mereka masih sulit menerima keputusan saya berganti kelamin,” selorohnya.
Ubah Kelamin Lewat Fatwa
Hari-Wonmaly yang berdarah Indonesia ini menghabiskan masa kecilnya di panti asuhan. Ia memutuskan menjadi mualaf sewaktu berumur 30 tahun. Hari, atau Azzah, disiplin sembahyang lima waktu, mengonsumsi produk halal, dan ingin menikah secara Islam. Namun, kadang ia menanggalkan jilbab di tempat kerjanya. “Ada beberapa pasien yang merasa canggung. Saya berusaha netral di hadapan mereka. Apalagi, kebanyakan bermasalah psikis,” tutur Azzah.
Sebelum dioperasi, Azzah singgah di Mesir. Ia lega, Islam seakan merangkulnya. Pengadilan Islam di sana memfatwa, kelamin lelakinya tak sejalan dengan hati, jiwa, dan raganya. Tak lama kemudian, Azzah menjalani terapi gender identity disorder di Rumah Sakit VU, Amsterdam. “Setelah itu, dimulailah pengembaraan antropologis saya menemukan diri sendiri,” timpal Azzah.
Ia memaparkan, “Sebetulnya, kaum muslim cukup terbuka menyangkut seksualitas. Homoseksualitas jadi masalah jika diembel-embeli budaya Barat. Saya selalu menekankan, keputusan saya adalah kemauan Yang di Atas dan bukan krisis identitas jender. Saya pun tak pernah menuntut mereka mengakui jenis kelamin saya. Saya kenal banyak laki-laki berkeluarga yang punya teman intim pria secara diam-diam”.
Menurut Azzah, imigran di Belanda malah lebih toleran menerimanya. “Ada seorang suster lokal yang menolak menyentuh saya dan ketus mengatakan lebih senang menolong orang patah tulang. Justru ibu-ibu muslim petugas cleaning service sangat antusias dan mengajak saya sembahyang berjamaah di sebuah kamar. Kami terisak bersama selesai shalat,” kenang Azzah berkaca-kaca.
Pada seminar Sabtu (19/2) lalu, Azzah menjabarkan rencananya membentuk komunitas transjender muslim mulai pertengahan 2011 mendatang di Amsterdam. Ia akan bekerja sama dengan imam gay dari Afrika Selatan, Muhsin Hendricks. “Semacam wahana untuk saling tukar pikiran dan pusat informasi bagi saudara-saudara muslim lainnya. Kami bukan pendosa atau murtad. Itu yang ingin kami sampaikan,” jelas Azzah.
Lantas, bagaimana rasanya menjadi wanita sepenuhnya? “Perempuan masih harus menempuh jalan panjang. Atasan saya kaget mendengar gaji saya sewaktu jadi manajer. Ia mewanti-wanti, jangan berharap jumlah yang sama di sini. Saya baru sadar, wanita itu belum duduk sejajar dengan pria,” pungkas Azzah.
Sumber :kolomkita.detik.com/Harian NRC Handelsblad “Azzahs keuze voor geloof én lichaam” (19-02-2011)