Search
Close this search box.

Antara Syahwat, Aceng, Eggy Dan Agama

Ourvoice.or.id – Salah satu alasan Eggy Sudjana menjadi pengacara Bupati Garut, Aceng Fikri untuk melaksanakan penegakan syariat Islam (tempointeraktif,12/12/2012).

Apa yang dilakukan sang bupati “menikahi” seorang anak perempuan yang kemudian diceraikan setelah empat hari menikah, hal ini dinilai oleh Eggy Sudjana dalam rangka penegakan ajaran Islam.  Sebuah “pernikahan” ke-empat tanpa izin istri sebelumnya bukan perbuatan yang tercela dalam ajaran Islam, ungkap Eggy yang dirilis oleh tempointeraktif.

Tentu apa yang diyakini Eggy Sudjana dalam membela Aceng bukan hal yang “salah”, setiap orang mempunyai hak untuk itu. Begitu juga ketika Eggy Sudjana membela Munarwan pelaku kekerasan terhadap kelompok Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada Juni 2008 di Monas.

Tetapi yang penting bahwa tidak semua umat muslim mempunyai pemahaman yang sama dengan sang pengacara dalam konteks poligami dan “pernikahan” anak. Sepertinya kita layak bertanya, benarkah sang pengacara ingin menegakan ajaran Islam atau karena alasan lain?

Dalam kasus Aceng masyarakat Garut yang mayoritas muslim tidak sejalan dengan pemahaman Eggy Sudjana, masyarakat melakukan aksi protes atas perbuatan sang Bupati sebagai perbuatan yang tercela. Penolakan ini dapat diindikasikan bahwa sebagai muslim, masyarakat tidak meyakini bahwa yang dilakukan oleh Aceng sebagai sebuah ajaran Islam. Penulis sendiri meyakini ini tidak lebih dari sebuah perbuatan “perkosaan” terhadap anak dengan menggunakan kekuasaan dan “topeng” agama.  Saidiman Ahmad, aktivis pluralisme menyatakan dalam account twitternya bahwa “penjahat butuh kedok moral”.

Bukan hanya di Garut, masyarakat Indonesia tegas menolak pernikahan terhadap anak apalagi dilakukan dengan poligami dan praktek “paedofil”.  Misalnya pada kasus ustad AA Gym yang juga melakukan pernikahan poligami, langsung publik meninggalkan sang ustad. Sang raja dangdut, H.Rhoma Irama juga pernah mengalami hal yang sama seperti Aceng dan Aa Gym walau dalam konteks berbeda.

Rhoma Irama seperti yang diberitakan oleh media infospesial.net pernah “tertangkap basah” sedang berduaan di apartemen Angel Lelga, sekitar pukul 23.00-04.00 pagi. Dalam liputan media tersebut Rhoma berujar ” Saya hanya memberikan nasihat dan petuah agar menghindarkan Angel dari jurang kenistaan”. Alasan Aceng, Rhoma, Aa Gym dan sang pengacara mendukung praktek poligami yang semuanya dibungkus dengan agama tetapi fakta publik ttetap menolaknya!

Pada kasus kasus Aceng, Rhoma Irama, Aa Gym dan Eggy Sudjana ada benang merah yang sama, agama digunakan sebagai “alat” untuk melanggengkan kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak. Praktek seperti ini tentu bukan hanya dilakukan oleh Aceng, Rhoma, Aa Gym saja tetapi ada banyak tokoh-tokoh agama dan masyarakat menggunakan justifikasi agama untuk melakukan eksploitasi seksual dan kekerasan terhadap kelompok yang lemah. Misalnya praktek poligami dan paedofil masih terus dilakukan oleh banyak orang dengan justfikasi agama. Ironisnya kebijakan negara (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan) memungkinkan praktek itu terus dilakukan walau dengan syarat yang ketat. Dan biasanya pelaku poligami jarang sekali mengikuti syarat-syarat yang ada dalam undang-undang.

Sekarang saatnya publik yang menilai apakah masih layak seorang pemimpin “penjual” agama padahal hanya ingin melanggengkan kekuasaan dan syahwat belaka dalam memimpin negeri ini? Jawabannya ada pada diri kita. (Hartoyo)