Ourvoice.or.id. Di Kota Bogor, keberadaan waria ternyata cukup banyak. Berdasarkan data Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD), jumlah waria di kota ini sepanjang 2009-2012 diperkirakan mencapai 6,224 orang. Namun yang terdata baru 600 orang.
“Umumnya, menjadi waria tidak dimulai sejak mereka lahir. Mereka menyadari identitasnya sebagai seorang waria, ketika mereka beranjak remaja atau dewasa. Dan awal menjadi seorang waria sulit bagi mereka untuk menerima identitas yang dimilikinya itu,” ujar Pengelola Program Gay, Waria dan Laki (GWL) KPAD, Agus Sulistianto kepada Radar Bogor (Grup JPNN), Selasa (4/12).
Menurut Agus, mereka berusaha untuk keluar dari kenyataan yang ada, namun sulit baginya mewujudkan itu. “Tidak ada manusia yang menginginkan untuk menjadi seorang waria, tetapi bagi mereka yang terpaksa mempunyai identitas sebagai waria berusaha keras agar dirinya terbebas,” jelas Agus.
Bagi seseorang yang mempunyai identitas waria atau transgender dalam menjalani hidupnya, bukanlah hal mudah. Betapa tidak, mereka harus berjuang menjalani hidup agar dapat diterima masyarakat. Dalam kehidupan sehari-harinya, ketika berada di tengah-tengah masyarakat, tidak jarang mereka mendapatkan cemoohan, cercaan bahkan pandangan negatif dari sebagian masyarakat yang belum mengetahui dan belum memahami kehidupan serta identitas waria itu sendiri.
“Waria selalu dianggap sebagai penyebar dan penular penyakit HIV AIDS, sebagai salah satu sumber hal-hal yang dianggap mengganggu, selalu diklaim sebagai pekerja seks. Bahkan, ia juga dianggap sebagai seorang yang hina dan sulit bagi mereka untuk diterima dilingkungan masyarakat,” imbuh pria yang juga seorang konselor GWL itu.
Mayoritas, lanjut Agus, kaum waria ingin hidup seperti manusia pada umumnya, nyaman, bahagia dan dapat bergaul dengan masyarakat sekitar.“Pernah suatu saat ketika razia Satpol PP mereka ditelanjangi bahkan mendapat perlakuan kasar,padahal bukan seperti itu caranya,” ujar dia geram.
Pekerjaan yang dijalani waria pun bermacam-macam. Mulai dari pengamen jalanan, pengamen keliling, berpengusaha menjadi salon ataupun menjadi pekerja malam (pekerja seks ). Dalam hidupnya mereka juga mengenal istilah persaingan dalam hal pasangan hidup, bahkan persaingan dalam mencari penghasilan. (ram)
Sumber : http://www.jpnn.com