Ourvoice.or.id – Forum Pluralisme Indonesia (FPI) mengadakan silaturrahmi dan diskusi “Masalah Penodaan Agama” di Hotel Sofyan-Jakarta Pusat, Sabtu,17/11/2012.
Hadir dalam kegiata tersebut diantaranya Prof.Dawam Rahardjo (cendekiawan muslim), Ulil Abshar Abdallah (P.Demokrat), Luthfi Assyaukanie (Dosen), Tunggal Pawestri (aktivis perempuan), Asfinawati (pengacara), Junaidi (wartawan), Marco Kusumawijaya (budayawan), Zuhairi Misrawi (P.DIP) dan beberapa mahasiswa Jakarta.
Menurut Marco masyarakat Indonesia umumnya telah menjadi masyarakat kota. Dalam sejarah masyarakat kota akan menjadi pluralis. Pendapat ini semakin diperkuat oleh Dawam Rahardjo, bahwa masyarakat yang pluralis cenderung “meninggalkan” agama. Sehingga jika ingin mengembangkan masyarakat pluralis tidak selalu harus masuk ke isu-isu agama, tetapi bisa dengan isu ekonomi, jelas Dawam.
Marco sendiri masih meragukan apakah masyarakat kota yang pluralis akan secara otomatis meninggalkan agama? Karena fakta dalam sejarah, justru agama berkembang dimasyarakat kota, ungkap Marco. Isu-isu pluralisme masih dianggap sebagai agenda “neoliberal” yang dipahami oleh partai, jelas Zuhairi Misrawi.
Dalam diskusi awal menurut Ulil, penodaan agama tidak dapat dikriminalkan oleh negara, seperti ada dalam PNPS No.1/65 tentang penodaan agama yang dibatalkan uji materinya oleh Mahkamah Konstitusi. Ulil memaparkan bahwa konsep penodaan agama sendiri dalam sejarahnya ada dalam perabadan Kristen (baca Eropa) bukan Islam.
Menurut Ulil, pada abad pertengahan Eropa (baca: Kristen) banyak mengkriminalkan atau menghukum orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda terhadap agama, yang kemudian dinamakan dengan penodaan agama (Blasphemmy). Atas pengalaman itulah, sekarang kebijakan dinegara-negara maju, khususnya di Eropa menghapuskan penodaan agama sebagai tindakan kriminal, jelas Ulil.
Fakta dari sejarah di Eropa menunjukkan bahwa hukuman atas nama penodaan agama banyak digunakan penguasa atau mayoritas unuk mengeksekusi (menghukum) kelompok marginal (tidak mempunyai kekuasaan), ungkap Ulil dalam diskusi yang juga dihadiri oleh pengacara Todung Mulya Lubis sebagai narasumber.
Akhir kegiatan, FPI menghasilkan rumusan beberapa strategi diantaranya: 1. Bagaimana mempengaruhi pengambil kebijakan baik didalam sistem (anggota partai) maupun diluar partai, 2. Pendekatan anak muda/mahasiswa melalui program pendidikan formal maupun pendekatan budaya, walau ide ini masih mendapatkan kritik dari beberapa pihak, 3. Melahirkan tokoh-tokoh “baru” pluralisme, 4. Menguatkan wacana pluralisme di media sebagai hal yang penting untuk dikabarkan oleh publik, 5. Membangun dialog secara terus menerus kepada organisasi Islam terbesar di Indonesia (misalnya Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama), 6. Membangun kampanye publik yang lebih kreatif yang dapat dilakukan cepat dan mudah, misalnya membuat video-video melalui handphone tentang pentingnya pluralisme. (Hartoyo)