Search
Close this search box.

 

Luna bersama Nia DiNata saat menjadi moderator diskusi nonton film "Madame X"

“Sampai sekarang, tidak ada satupun anggota keluarga gue yang tahu, Bahwa Gue pernah mendapat predikat Runner Up 2 dalam ajang Miss Waria Jawa Tengah,” Ucap Luna mengawali obrolan petang kami di sebuah café di salah satu mall Jakarta Selatan.

Malam itu, sesuai janjinya, Luna datang tepat jam 19.00 WIB. Dengan masih menggunakan seragam kerjanya yang merupakan modifikasi kain batik dengan desain mengikuti garis lekuk tubuhnya, sehingga bentuk badannya yang tidak kurus itu terlihat nyata. Namun kepercayaan diri yang terpancar dari raut wajahnya menutupi semua itu.

“Kalau mengingat kejadian itu, lucu juga!” sambungnya.

Mungkin orang pasti akan punya penilaian, bahwa sosok Luna yang ada dihadapanku ini tak ubahnya seorang pria seperti pada umumnya. Namun ketika dilihat secara keseluruhan, baik gestur tubuh maupun cara berbicara, orang pasti bakal terpana. “Gue laki-laki yang mengikuti naluri, naluri perempuan, Eimmm!” ceplos Luna tanpa basi-basi. Karena kebetulan malam itu dia tidak “dandan,” sehingga performa yang dia tampilkan tidak berlebih seperti di saat dia dibalut busana seksi.

Sambil menyeruput segelas minuman bersoda beraroma jeruk, Luna mulai melanjutkan ceritanya. “Gue kalau main-main ke kantornya Ourvoice, panggilannya Luna, tapi kalau manggung di sebuah acara, Nama gue, Christy!”

Luna saat mengikuti aksi "Indonesia Tanpa Diskriminasi" beberapa waktu lalu.

Terlahir di Semarang, 17 februari 1981, Luna beberapa kali pindah-pindah rumah karena mengikuti dinas kerja Ayahnya. Sempat pula dia di Surabaya. Namun dia menghabiskan masa sekolahnya di Wonogiri, Jawa Tengah.

Sejak kecil, Luna yang enggan menggunakan nama aslinya ini, sudah terbiasa bermain dengan temen-temen perempuannya. Dia lebih menikmati pertemanan itu ketimbang dia bermain dengan teman laki-lakinya. Kenyamanan batin yang dari kecil tidak pernah dia sadari. Seperti ada faktor x yang membimbing dia untuk memutuskan dengan siapa dia berteman. Hanya saja, dia tidak peduli apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Pada jendernya.

Nama panggilannya semasa kecil adalah Wiwid. Lihai bermain masak-masakan. “Mungkin kalau diibaratkan jaman sekarang, dulu itu gue serasa Farah Quinn,” selanya.

Sejak kecil Luna tidak pernah menyadari dan mencoba memahami perbedaan orientasi seksual dan jender yang ada pada dirinya. Karena bagaimanapun juga, di lingkungan dimana ia tinggal, dia tidak menemukan satu kasus pun teman-teman atau tetangga dan orang lain yang “mempermasalahkan” perilakunya. Tak ada yang mengejek ataupun celaan-celaan yang destruktif. Luna tidak mendapatkan pelecehan batin. Apa yang ada pada dirinya saat itu adalah biasa menurutnya.

Luna tidak menampik kalau dirinya dipanggil “banci” kalaupun ada seorang teman atau sesiapapun menyebutnya demikian. “Kalau iya terus kenapa? Memang gue banci. Cuman dulu gue masih kecil, jadi tidak tahu mana benar mana yang salah. Selama gue nyaman, ya sudah, itulah kebenaran.” tutur Luna serius.

Bisa jadi banyaknya teman-teman sepermainan Luna yang sama-sama mempunyai orientasi seksual / jender yang sejenis menjadi faktor penunjang juga, sehingga orang-orang di sekitar mereka (baca: Luna dan teman-teman seorientasi) menganggap apa yang ada pada diri mereka lumrah. “Toh mereka kalau udah gede pasti juga bakalan kawin sama perempuan,” mungkin itulah yang ada dipikiran orang-orang.

Saat masih menginjak kelas 4 SD, Luna sudah mulai mengagumi temen cowok sekelasnya. Hanya sekedar suka. Tidak lebih. Hanya karena sifat Luna yang sudah mendominasi dari kecil, sehingga predikat “famous”  menempel di benaknya. Pola agresif yang dia terapkan dalam pergaulan menjadikan popularitas adalah nomer satu.

“Dulu, saat masih anak-anak, kalau ditanya, apa cita-cita gue, gue selalu jawab, jadi dokter”

Dari SD, Luna memang berharap dan bercita-cita ingin menjadi dokter. Dengan alasan karena ingin menolong sesama. Anak-anak dan siapapun yang bisa ditolong. Tetapi seiring berjalannya dengan waktu, niatan bercita-cita menjadi dokter luntur saat menginjak bangku SMA, tergeser oleh harapan menjadi ikon kecantikan mewakili sosok feminim ala putri-putrian.

Nekat. Luna mulai sembunyi-sembunyi hanya untuk berdandan cantik. Menggunakan bulu mata palsu, ber-make up tebal termasuk memoles lipstik warna merah di bibirnya. Semua itu dilakoninya sejak dia masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Ketika ada temannya yang kebetulan sedang merayakan hari ulang tahunnya, Luna pasti kebagian peran untuk “berdandan” dan menjadi MC. “Dan di kelas dua SMA juga, gue mulai pacaran sama yang namanya lekes (baca: laki-laki).”

Tidak ada perasaan takut yang menyelimutinya di saat berdandan. Malah Luna sangat bahagia ketika bisa dengan sukses berdandan sempurna. “Ya senang karena bisa total, all out!” ujarnya.

“Pertama kali ketahuan dendong (baca: dandan), SMA kelas 3. Saat itu, ibu beres-beres  kamar, dan nemuin bulu mata palsu yang menempel di kaca kamar gue, ada lipstik juga, termasuk peralatan make up lainnya.” Luna bercerita.

“Pagi harinya Ayah langsung ngasih nasehat, gue sih cuman iya-iya aja. Dalam hati sih nggak ngefek. Tetep aja masih dendong sembunyi-sembunyi,” Luna menambahkan. Namun sejak kejadian itu, jam malam mulai diberlakukan dan pengawasan lebih ketat tidak seperti biasanya.

Malam semakin larut. Obrolan kini beralih ke masa-masa kuliah Luna. “Dulu itu ya, gue kuliah itu terpaksa. Karena yang menyuruh gue jadi perawat adalah orang tua gue!” terangnya.

“Padahal gue sudah berangan-angan kalo sudah lulus nanti menjadi pramugara,” tambahnya.

Dan sampai sekarang pun, Luna masih kurang bisa menerima profesinya sendiri yang seorang perawat. Bagaimanapun juga, jiwanya lebih nyaman berada di lingkungan yang bersinggungan dengan dunia hiburan.

Siapa bisa menyangka, Luna sekarang bekerja dengan posisi sebagai Supervisor keperawatan. Melengkapi daftar riwayat hidupnya, dia pernah juga menjadi relawan di Aceh saat ada bencana tsunami melanda di tahun 2004 lalu. Dia juga pernah menjadi bagian dari tim relawan saat Gunung Merapi meletus beberapa tahun yang lalu.

Crossdresser

“Sebenarnya gue bukanlah waria. Gue hanyalah seorang pria yang suka memakai baju yang menunjukkan keseksian dan kecantikan. Gaun, rok mini, hak tinggi, wig pirang dan asesoris yang bisa menunjang penampilan. Tapi kalaupun orang-orang menyebut gue waria saat gue dendong, tidak ada masalah. Ini hanya masalah label.”

Kepuasan batin adalah alasan utama yang diperoleh Luna ketika menggunakan rok atau baju-baju yang bisa menunjang kecantikannya. Sekali lagi Luna menegaskan, dia dandan hanya karena dia ingin. Dia cantik hanya karena dia merasa ingin tampil menarik. Karena Luna suka terlihat cantik.

Ibu kota bukan ibu tiri

Jakarta bagi Seorang Luna tidak ada apa-apanya. Tidak seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Justru di Jakarta pula Luna mengalami metamorfosa. Perubahan dalam hidupnya sangat  signifikan. Ruang ekspresi lebih luas dan bebas, tanpa ada bayang-bayang ketakutan.

Dalam pengalamannya “dendong,” Luna tidak pernah berkonflik dengan para waria. Malah yang ada justru timbul pertemanan dan kebahagiaan karena mendapatkan sahabat-sahabat baru yang seirama dalam menyenandungkan nada kehidupan. Luna tidak menampik, kalaupun di dalam pertunjukkannya ada yang memberikan “honor” yang kebanyakan berupa uang, dengan senang hati dia menerimanya. Apabila hanya sebatas ucapan terima kasih yang dia dapatkan, dengan tidak mengharap apa-apa, semuanya tidak ada nilainya, bila dibanding dengan kepuasan batin.

Curahan hati

Luna membawa poster "Indonesia Tanpa Diskriminasi" di sekitaran Bundaran HI

“Gak penting!” ucap Luna saat dimintai pendapatnya soal Polisi Moral. Menurut dia, tidak ada yang patut dibanggakan ketika seseorang mengatas-namakan agama dan moralitas justru disalahgunakan untuk melukai orang lain yang jelas-jelas dengan tindak kekerasan yang sangat tidak beradab.

Menurut Luna, kemunculan orang-orang yang merasa benar sendiri itu adalah imbas dari lemahnya sistem pemerintahan. Segencar apapun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia berkoar-koar soal keberagaman dan Hak Asasi Manusia, kalau tidak dibarengi dengan model pemerintahan yang kuat, tidak bakalan ada yang namanya perubahan sosial.

“Gue adalah bagian dari LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Transjender), dan gue juga tahu gue harus ngapain,” kata Luna seraya geram dengan apa yang dia rasakan saat ini. Kekesalan yang mendalam terhadap ulah manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. Hal itu juga yang akhirnya membawa Luna untuk bergabung di sebuah LSM yang ada di Semarang. Namun itu tidak berjalan lama. Alasannya karena apa yang dicari selama ini tidak dia temukan di LSM tersebut. Ketika ditanya hal apa yang justru ditemukan Luna di LSM tersebut, dia malah tertawa.

“Itu dulu, sekarang LSM LGBT mulai banyak bermunculan. Dan tidak lagi fokus ke HIV/AIDS. Sekarang mereka lebih luas cakupannya. Selain pendidikan seksual, advokasi hak-hak LGBT hingga masuk ke ranah Hak Asasi Manusia,” terang Luna.

Saat ini Luna sedang mengikuti pelatihan Jurnalistik yang diadakan Ourvoice. Alasannya dia ingin menjadi kontributor bagi website Ourvoice. Karena dia sering melihat kurangnya pemberitaan yang ada unsur keberpihakan atas LGBT yang diberitakan oleh media pewarta yang lain. “Bete aja membaca berita yang isinya malah menyudutkan komunitas LGBT,” Luna menimpali.

Malam semakin larut, tidak berselang lama, pria yang menyukai warna biru dan merah jambu ini seakan-akan memberi kode bahwa pembicaraan harus dihentikan. Tangannya menggeliat keatas. Sesekali dia memijit-mijit pinggangnya sendiri. “Pokoknya, harapan gue untuk para LGBT di Indonesia, kedepannya harus lebih diterima, pokoknya lebih baik lagi. Utamanya lebih bisa bersatu.” Luna menambahkan.

Sebelum berpisah, Luna mencoba untuk membisikkan sesuatu kepadaku, “Jujurlah pada diri sendiri dan terbukalah kepada orang lain, karena itu bisa membuatmu lebih nikmat menjalani hidup ini.” Lantas dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Kami berdua terpisah oleh malam yang hangat. (Imam Ocean)