Ourvoice.or.id – Menjadi penulis kawakan sekelas Andreas Harsono, atau setara dengan Linda Christanty bisa dipastikan butuh waktu yang lumayan panjang dan lama. Proses demi proses pastinya harus dilewati terlebih dahulu. Mulai dari penggalian bakat menulis, mengasah ketajaman pemikiran, mengolah kemampuan menyusun kata-kata hingga (kalau diperlukan) menjadi kritis terhadap segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini.
Berbicara mengenai dunia tulis menulis, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang berbasis di Jakarta, Our Voice, berusaha untuk mencari bibit-bibit penulis baru, dalam hal ini jurnalis-jurnalis yang mempunyai jiwa keberpihakan. Dimaksudkan bahwa, semua hasil tulisan-tulisan karya calon jurnalis ini nantinya mempunyai ruh/nyawa yang kedudukannya pro-Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender (LGBT). Lebih tepatnya bersifat mendukung ketimbang destruktif dalam muatan pemberitaannya. Bagaimanapun, kondisi ini muncul dikarenakan, fakta di lapangan menyebutkan, pemberitaan di media yang sering kali menyajikan berita-berita yang isinya selalu menuju pada “pemberitaan miring.” Dimisalkan, apabila ada kejadian kasus kriminal dimana diketahui sang pelaku kejahatan adalah seorang Gay, maka yang disorot habis-habisan adalah masalah orientasi seksual sang pelaku. Berbeda halnya dengan ketika ada kasus pembunuhan yang pelakunya adalah seorang heteroseksual. Yang secara otomatis, ke-heteroseksual-annya tidak mungkin untuk di ekspose. Karena masyarakat memang sudah terlanjur awam untuk mengamini kondisi tersebut.
Our Voice selaku LSM LGBT yang bergerak di media pemberitaan sadar penuh, bahwa kebutuhan masyarakat atas pemberitaan yang selama ini diwartakan oleh para jurnalis saat ini, masih sebatas untuk memenuhi selera pasar, tanpa ada pembekalan mengenai dasar-dasar bahan pemberitaan. Pembekalan pengetahuan atas nama identitas jender, orientasi seksual masih amat teramat kurang. Sehingga banyak fakta yang ditemukan, para jurnalis punya kecenderungan untuk menulis berita “seperlunya” saja. Padahal konsep “abu-abu” sudah tidak berlaku lagi di jaman sekarang. Model penulisan berita, tak lagi harus mengikuti yang dulu-dulu. Dicontohkan saja, masih banyak para jurnalis yang sering kali beranggapan bahwa yang mayoritas selalu “benar,” dan yang minoritas pasti banyak “salah”nya. Hal-hal seperti itu sering kali dijumpai di pemberitaan yang serba instan untuk masa sekarang ini. Seksualitas yang masih ditabukan, homoseksualitas yang selalu dianggap aib bahkan produk diskriminasi semacam ras dan agama yang masih saja diperdebatkan kadar eksistensi dan filosofi “paling benar sendiri”nya.
Minggu lalu (4/11/2012), Our Voice mengumpulkan para calon peserta Pelatihan Jurnalistik dan Fotografi. Ada dua sesi. Sesi pertama dimulai dengan pengenalan para calon peserta Jurnalistik yang masing-masing calon menyebutkan alasannya mengapa bersedia mengikuti kelas pelatihan Jurnalistik ini. Sebut saja salah satunya Banyu. Alasannya mengikuti pelatihan ini adalah untuk mengasah kemampuannya dalam bidang kepenulisan khususnya yang mengandung unsur keberpihakan. Penyadaran publik yang berkaitan dengan seksualitas dan jender serta Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk sesi kedua langsung diteruskan dengan sesi pengenalan kelas Fotografi yang dihadiri dari beragam orientasi seksual. Salah satunya lesbian asal Jakarta, Dee (24) mengungkapkan minatnya mengikuti pelatihan ini karena ingin tahu lebih dalam tentang Fotostory. Dan disamping itu juga, ada yang lebih utama, dia berharap dengan apa yang akan dia dapatkan nanti di kelas, bisa menjadi kontribusi yang lebih berarti untuk pergerakan LGBT di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, Our Voice mendapuk Prodita Sabarani, Wartawan The Jakarta Post sebagai Fasilitator untuk kelas Jurnalistik dan Oktofani Elisabeth, wartawan lepas bersama Clara, wartawan AFP-Perancis untuk membidani kelas Fotografi (Photostory).
Dengan terbatasnya jumlah peserta kelas Jurnalistik dan Fotografi, yang masing-masing berjumlah 15 peserta, diharapkan nantinya intensitas pengajaran lebih fokus dan efektif. Pelatihannya sendiri, akan dimulai tanggal 10 November 2012 untuk kelas Jurnalistik dengan rentang 6 kali pertemuan setiap hari Sabtu dan tanggal 11 November 2012 untuk yang mengambil kelas Fotografi yang terdiri dari 5 kali sesi pertemuan setiap hari Minggu. Masing-masing kelas dimulai jam 3 sore.
Dari pelatihan ini, Our Voice berharap bisa mencetak para kontributor-kontributor handal yang mampu membuat karya tulisan maupun foto yang mewakili suara-suara termarjinalkan, suara-suara yang tidak tersampaikan, suara-suara yang terbawa angin dan suara-suara yang selamanya menjadi suara usang. (Imam Ocean)