Ourvoice.or.id. Anak adalah keinginan bagi setiap pasangan. Karena itulah setelah seorang lelaki dan perempuan bertemu, tujuan utama selanjutnya adalah memperoleh keturunan. Namun bagaimana dengan kaum transgender?
Ini adalah kisah menarik yang terjadi di Thailand, tentang kisah cinta transgender. Sang lelaki dahulunya adalah seorang perempuan, sementara pasangannya sangat ingin menjadi lelaki. Namun keduanya sama-sama memiliki keinginan untuk memiliki anak.
“Cinta memang bisa terjadi kepada siapa saja,” ujar Sittichai “Pond” Suafug seperti dikutip The New Paper di Bangkok, melalui seorang penerjemah.
“Seperti pada kami, cinta itu datang meski kami sering dianggap tidak normal. Setiap jenis kelamin ingin dicintai dan mencintai. Siapa yang menyangka seseorang yang tomboi kemudian mencintai transgender,” imbuhnya.
Kisah cinta keduanya sudah pernah dimuat di The Bangkok Post 2 November lalu dan mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat Thailand.
Klip liputan tentang keduanya yang dimuat di situs koran tersebut telah dilihat 11.500 pengunjung.
Yang membuat kisah mereka menjadi kontroversi adalah saat keduanya berkeinginan untuk memiliki anak.
“Kami berkeinginan untuk memulai sebuah keluarga setelah melakukan inseminasi buatan. Tapi kami akan melakukannya setelah menjalani konsutasi medis serta konseling,” ujar Suafug yang kini berusia 23 tahun.
Perihal bantuan medis, ia tidak terlalu banyak menjelaskannya.
Setelah urusan anak selesai, rencananya Suafug dan Benhamporn “Ben” Rotjutakul akan mengubah kelamin mereka dengan cara operasi.
Suafug bertemu dengan Benhamnporn lima tahun silam saat bermain game online. Suafug menyebut dirinya sebagai “phuying praphet song” (perempuan jenis lain).
Awal perkenalan, keduanya tidak mengetahui orientasi seksual yang berbeda dari orang kebanyakan. Selama tiga bulan, keduanya mengobrol di dunia maya tanpa bertukar foto atau bertukar nomor telepon.
Setelah bertemu, bukan rasa kaget yang dialami masing-masing, namun keduanya merasakan ada hal yang berbeda, yakni kecocokan.
“Saat pertama bertemu kami sudah merasa cocok meski saya khawatir justru ia yang tidak bisa menerima saya,” ujar Rotjakul.
Namun kekhawatiran tersebut ternyata tidak terjadi. Keduanya pun kemudian menjadi sepasang kekasih.
Tahun berikutnya, mereka terdaftar di jurusan akuntansi Universitas Pundit Dhurakij, Bangkok, Thailand. Mereka menjadi teman satu kelas, hingga tahun keempat mereka berkuliah.
Hal yang menarik, setiap liburan datang, keduanya tidak pernah menghabiskan waktu di luar selain bersama-sama. Mereka hidup di sebuah ruangan kecil dihiasi dengan beragam boneka favorit seperti Doraemon.
Mereka tidak peduli dengan situasi tempat tinggal mereka yang sudah mulai keropos, terutama kayu di langit-langit kamar. Pintu kayu tempat mereka tinggal dihiasi dengan cetakan telapak tangan pasangan yang berbahagia tersebut.
Di dinding kamar banyak dihiasi foto-foto mesra mereka dalam warna sephia. Di dalam kamar, mereka memiliki dua ekor anjing dan kucing yang berbagi tempat di ruang kecil tersebut. Mereka tidak mempedulikan hal tersebut, sebab bagi keduanya, cinta adalah abadi.
“Sulit bagi seorang transgender menemukan seseorang yang tulus mencintai karena mereka tidak berpikir untuk menikah. Saya ingin dia tahu jika saya benar-benar mencintainya,” ujar Rotjakul.
Karena itu ia tidak dapat menolak saat kekasihnya itu meminta untuk meresmikan hubungan mereka dengan ikatan pernikahan.
Keduanya kemudian menikah bertepatan dengan perayaan Valentine, Februari lalu di kantor kelurahan setempat. Saat menikah, orangtua mereka disembunyikan.
“Yang menikahkan kami sempat terkejut karena baru pertama kali melakukannya,” ujarnya.
Namun keduanya tidak merasa khawatir dengan hubungan tidak biasa tersebut, sebab pernikahan Suafug dan Rotjakul tetap dianggap legal. Dalam menjalani mahligai rumah tangga, Rotjakul yang merupakan seorang transgender tetap dianggap suami dan Suafug adalah istri.
Namun Rotjakul telah memilih untuk tidak mengubah statusnya menjadi perempuan dalam surat nikahnya.
Orangtua mereka pun akhirnya dapat menerima pernikahan keduanya setelah membaca sejumlah media di Thailand. Kini, keduanya telah merencanakan untuk melangsungkan pesta pernikahan secara adat.
Namun, apakah anak-anak mereka kelak akan kebingungan dengan identitas orangtua?
“Kami akan berbicara apa adanya meski itu akan terasa sangat menyakitkan. Anak-anak tetap akan memanggil saya ayah dan Pond sebagai ibu,” ujar Rotjakul.
Setelah pernikahan keduanya dibahas di berbagai media, sejumlah pasangan dengan kisah serupa banyak menghubungi mereka.
“Ini menunjukkan ada orang lain yang memiliki kisah seperti kami namun mereka tidak berani mengungkapkannya. Kami ingin semua orang tahu bahwa jika saling mencintai dan tidak menyakiti orang lain, masyarakat akan menerima,” ujar Rotjakul.