Ourvoice.or.id. Mobil kami terjebak pada antrian lampu merah di perapatan Cempaka Putih, dekat ITC Cempaka Mas. Temanku yang menyetir mobil ketakutan. Ia tidak membuka jendela ketika seorang pengamen bencong berlaga di sebelah mobil kami. Sementara itu, sang pengamen tetap bernyanyi. Selesai bernyanyi, ia mengetuk jendela, “bayar dong, mas!” pintanya dengan gaya genit khas mereka.
Kubuka sendiri kaca jendelaku di belakang supir. “dapat berapa hari ini?” tanyaku sambil memberikan seribuan.
“Lumayan buat cicilan mobil.” candanya
“Namamu siapa?” tanyaku spontan.
“Maria Mercedes!” Tersenyum genit. Walau aku yakin itu nama palsu, tapi aku tak tahan untuk menahan tawa.
“Nggak bosan cari duit begini? Gak cari usaha lain?” kataku masih sambil terkekeh. Sementara temanku di depan hanya memerhatikan tingkah Maria Mercedes dari kaca spion.
“Biarin aja begini, mas. Siapa sih yang bosan dapat duit?!” jawabnya sambil melebarkan bibirnya yang selalu tersenyum.
“Siang-siang begini, kan panas. Malam juga kedinginan…” tambahku spontan.
“Yang penting keringat sendiri, mas. Bukan keringat rakyat! Hehehe…” jawabannya pasti spontan juga. Selayaknya waria, yang memang terkenal pandai bercanda secara spontan.
“Memang ada yang dapat duit dari keringat rakyat?” tanyaku iseng.
“Nggak usah di bahas deh, mas. Nanti eike kena cekal. Nggak bisa konser lagi, deh. Kasihan penggemar eike, kehilangan.” jawabnya sambil tersenyum merajuk.
“Ya udah, jangan konser. Kerja yang lain saja!” Balasku iseng.
“Memang mas nggak suka nonton konser eike?” ia mendowerkan bibirnya di jendelaku, memelas.
“Hehehe…. Nggak juga sih. Tapi kalau mau coba usaha, coba ini saja!” kataku sambil menyerahkan kartu nama temanku, seorang ditributor MLM kepadanya.
Ia membacanya, “Haris Abdurrohim! Wah ini perusahaan mas?” tanyanya dengan riang.
“Bukan! Itu kartu nama teman saya. Dia pengusaha. Siapa tahu kamu mau mencoba usaha baru, hubungi dia saja. Kan ada nomor teleponnya.” Terangku.
“Kalau kerja mah, mana mungkin ada kantor yang mau menerima Maria. Maria kan hidupnya di jalan.” Jawabnya sambil mencibirkan bibirnya seolah-olah cemberut dan bersedih. Tapi aku justru geli melihatnya. Mau tertawa tapi takut menyinggungnya.
“Perusahaan temanku itu, bisa menerima siapa saja, koq. Asal mau kerja.” Kataku.
“Maria biar begini aja deh, mas. Lebih enak begini.” Bantahnya dengan badan yang digoyang-goyangkan seperti anak manja.
“Ya nggak apa-apa. Itu kan hak kamu.” Aku tersenyum menjawabnya.
Lampu sudah hijau, mobilkupun melaju meninggalkan Maria Mercedes “bajakan” di perempatan by pass dekat Mall Cempaka Mas.
“Yang penting keringat sendiri, mas. Bukan keringat rakyat!”
– Maria, Pengamen Waria, Cempaka Putih –
Benar juga kata Maria Mercedes, pengamen waria itu: yang penting keringat sendiri. Karena serendah apapun pekerjaan kita, mungkin itu anggapan orang lain saja. Jangan sampai kita sendiri menganggapnya rendah.
Kadang kita merasa malu dengan apa yang kita kerjakan karena kita setuju dengan pandangan rendah orang lain terhadap pekerjaan kita. Ya, jika kita menyetujui anggapan rendah orang lain terhadap apa yang kita lakukan, bagaimana bisa menghargai diri sendiri. Jika kita tak bisa menghargai diri sendiri, bagaimana bisa mengandalkan diri untuk menjalani kehidupan ini.
Penulis : Mataharitimoer/Sumber : http://lomba.kompasiana.com/ib-1000-tulisan/2010/07/29/harga-diri-seorang-waria/