Search
Close this search box.

Aku Waria, Aku juga Manusia

(ilustrasi gambar : http://lifeisreallybeautiful.com)

Ourvoice.or.id. Perkenalkan aku seorang waria, namaku Marie Antoinette. Aku suka sekali nama itu. Sejak membaca kisah dan film Marie Antoinette, aku jadi terobsesi dengan nama itu. Marie tak hanya cantik, dia juga anggun meski sedikit nakal dan binal. Tak usahlah aku bercerita panjang lebar tentangnya, karena ini bukan kisahnya, tapi kisahku. Walau hidup Marie Antoinette berakhir tragis di pisau guillotine, namun namanya tetap diingat orang sampai sekarang.

Tetapi, bukan karena nama itu aku memutuskan jadi waria, prosesnya panjang sekali, hingga kurela memotong kelaminku di meja operasi, dan menjadi seorang perempuan. Ya, seorang perempuan, meski orang-orang yang mengenalku tetap menganggapku seorang pria.

Jadilah aku dijuluki waria, cuma itu yang tepat buatku bagi mereka. Padahal, kelaminku kelamin perempaun. Oleh dokterku, aku sudah dibuatkan labia mayora, labiya minora, sebuah vagina, hingga klitoris buatan. Semua dibuatkan hampir mendekati yang asli. Ya, hampir, karena semua bagian kelamin baru itu hampir mendekati yang asli, tapi tak sesempurna yang asli. Maklum, kelamin baruku itu tak bisa memproduksi seorang anak. Andai bisa, itu mukzizat dari Tuhan.

Tapi sudahlah, Tuhan sudah terlanjur marah padaku. Aku telah melanggar kodratnya, ciptaannya yang bagus, sudah kukorbankan demi sebuah kelamin wanita, demi menyempurnakan statusku sebagai seorang wanita, meski nyatanya aku tetap dipanggil waria.

Seharusnya aku bisa menuntut Tuhan, kenapa jiwaku ditempatkan di tubuh laki-laki, padahal jiwaku jiwa perempuan, dan Dia tahu itu. Aku merasakan kelembutan seorang perempuan, suaraku pun lembut bagai perempuan, dan ketika baligh, hasrat nafsuku pun tertuju buat laki-laki. Semakin dewasa, aku makin terkurung dalam tubuh lelakiku.

Aku juga begitu benci melihat sebatang daging yang menggantung di antara selangkangku. Aku tak nyaman bersamanya. Setiap pagi, ingin kupotong sebatang daging itu, yang sudah buatku sengsara bila pagi datang. Akhirnya, ada seorang kaya yang mengerti perasaanku. Dia membiayaiku membuang sebatang daging itu, hinggaku seperti sekarang.

Kalau orang tak mengenalku, pasti mereka mengira aku benar-benar wanita tulen. Apalagi parasku cantik, lembut, dan mempesona. Banyak wanita yang kagum dengan kulitku yang halus dan putih. Tapi, aku tak pernah membohongi mereka. Aku tetap jujur pada mereka kalau dulunya aku seorang pria. Untungnya, banyak yang tak percaya. Sudahlah, terserah mereka mau percaya atau tidak. Kalau pun mereka percaya, aku sudah siap menerima semua cemoohan mereka.

Kalau sudah begitu, kebanyakan dari mereka pasti mengataiku seperti ini, “Kiamat makin dekat, laki-laki jadi perempuan, perempuan jadi laki-laki … parah, ini yang di anggap kebebasan? Ini yang dibilang hidup modren? Dan ini yang dibilang wajar? Manusia diberi otak untuk berpikir, agar menjadi lebih baik dan bijak, bukan kayak gene”. *)

Dan kalau ada yang berkata demikian, pasti ada yang ikut menimpali, “Iya betul, itu namanya manusia tidak terima kodrat … padahal persamaan hak dan hidup modern tuh bukan seperti itu. Seharusnya semua manusia menerima kodratnya sebagai manusia”.*)

Hmmm, tahu apa mereka tentang kodrat, sebelum kehidupan modren pun sudah ada manusia sepertiku ini. Mereka bisa seenaknya ngomong. Coba mereka berada di posisiku, apa mereka bisa ngomong seperti itu.

Dan aku paling senang kalau ada yang membelaku seperti ini, “Biarkanlah, apa pun rupa dan jalan yang dipilihnya, selama dia hidup dengan kasih di hati dan perbuatannya … daripada yang laki-laki dan perempuan-perempuan, yang mengaku tahu agama, tahu Tuhan, tapi kelakuan NOL ….”.*)

Pernyataan terakhir ini pasti aku beri nilai 100 tanpa potong pajak, aku suka sekali. “Ya sudahlah, polemik itu pasti tetap ada, semua dosa, risiko, aku yang tanggung, terserah merekalah mau ngomong apa, emang gue pikirin, kata orang Jakarta sana”.

Walau demikian, aku tetap sadar, semua keinginan itu bukanlah pilihanku. Aku tetap bersandar pada takdir. Keinginan untuk jadi sosok yang banyak dicemooh itu bukan datang seketika, apalagi sekonyong-konyong. Itu sudah datang sejak lama, lamaaa sekali. Tanda-tanda seorang wanita pun sudah kelihatan. Sejak kecil aku selalu bermain dengan anak perempuan lainnya. Aku paling benci bermain-main dengan anak cowok yang jorok dan kasar.

Aku paling senang memakai gaun-gaun ibuku, sepatu high heels-nya, hingga perlengkapan make-up ibu pun selalu aku pakai. Lipstik pun tak pernah lepas dari intaianku. Kalau sudah pakai lipstik aku akan berkaca di depan cermin, dan bergaya seperti Madonna, sambil mengedap-ngedipkan mata dengan bibir yang dicuap-cuap. Lucu juga kalau ingat-ingat itu.

Suatu kali, ibu tahu kalau aku pakai barang-barang miliknya. Ibu tak marah sama sekali, melihat anak cowoknya bergaya-gaya seperti seorang anak cewek. Malah ibu mengajarkanku bagaimana cara pakai lipstik yang benar, eye shadow yang tepat, hingga mataku bisa memancar dengan tajam dan anggun. Aku pun tak mengerti, kenapa ibu seperti itu, apa karena kakak-kakakku, anak-anaknya ibu yang lima lagi itu, cowok semua, entahlah. Tapi itulah, ibu memang seperti itu, selalu memperlakukanku seperti seorang perempuan. Ayah pun sepertinya tak keberatan asal ibuku bahagia.

Kadang, aku juga suka penasaran, kenapa aku bisa seperti itu, terkungkung dalam tubuh pria padahal jiwaku perempaun. Banyak literatur yang kubaca, beberapa diantaranya menyatakan bahwa kromosom x – ku terlalu dominan ketimbang kromosom y, kromosom pembawa sifat laki-laki. Apalagi kakak-kakakku semuanya laki-laki, tentu kromosom y-nya makin sedikit yang kuterima dari ayah. Mungkin salah satu penyebabnya itu. Entah benar atau tidak teori-teori itu, yang penting aku telah merasa sempurna menjadi sosok “perempuan jadi-jadian”, hehehe, demikian orang menjulukiku.

Kesempurnaan itu makin menjadi-jadi saat melihat penampilan Nuntrita “Bell” Khampriranon atau Bell Nuntita di sebuah stasiun TV Bangkok. Pasti kalian tahu tentang si Bell itu. Dia mendadak jadi terkenal di seantero Thailand bahkan jagat gara-gara youtube, media online, dan media nirkabel lainnya. Bell juga seorang waria, tapi dia punya suara emas, bahkan suara emasnya disetarakan dengan suara emas Susan Boyle, seorang nenek-nenek yang pernah menjadi idola di Britain’s Got Talent 2009. Bell juga menjadi idola baru Thailand saat dia tampil di Thailand’s Got Talent beberapa waktu lalu.

Dia tak malu-malu memperkenalkan dirinya sebagai seorang waria. Bahkan Bell tak malu menyanyikan separuh lagunya dengan suara perempuan, dan menyelesaikan sisanya dengan suara asli prianya, yang berat dan dalam. Biar bagaimanapun, Aku, Bell, dan yang lainnya tetaplah manusia. Aku waria, aku juga manusia, yang butuh pengakuan dan diterima banyak orang.

Penulis : Abdi Husairi Nasution/Sumber : fiksi.kompasiana.com

*) Dikutip dari komentar berita “Penyanyi Transeksual Jadi Idola Baru di Thailand”, Vivanews.com – Kamis, 17 Maret 2011,