Penulis : Siti Khodijah (Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga- Sosiologi Agama)
Menjadi seorang waria atau transgender, identitas seperti itu bukanlah menjadi pilihan bagi siapa pun. Istilah waria, kerap kali dideskripsikan dengan sosok manusia yang berjenis kelamin laki-laki namun ia mempunyai sifat, gaya hidup seperti perempuan, karakter tubuh, sikap, suara, cara bicara maupun cara berjalan seperti layaknya perempuan. Kemudian sebutan lain bagi istilah transgender yang sering kali dikenal oleh sebagian masyarakat yaitu banci atau bencong.
Temen-temen waria menunjukkan dirinya sebagai seorang waria tidak dimulai sejak mereka lahir. Mereka menyadari identitasnya sebagai seorang waria, ketika mereka beranjak remaja atau bahkan ada yang baru mengetahui identitasnya itu ketika mereka beranjak dewasa dan awal menjadi seorang waria sulit bagi mereka untuk menerima identitas yang dimilikinya itu. Mereka berusaha untuk keluar dari kenyataan yang ada, namun sulit baginya untuk mewujudkan itu.
Tidak ada manusia yang menginginkan untuk menjadi seorang waria, tetapi bagi mereka yang terpaksa mempunyai identitas sebagai waria berusaha keras agar dirinya keluar atau lepas dari identitas sebagai waria dan bagi seseorang yang mempunyai identitas waria atau transgender dalam menjalani hidupnya, bukanlah hal yang mudah. Betapa tidak, mereka harus berjuang menjalani hidupnya agar dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-harinya ketika mereka berada di tengah kehidupan masyarakat tidak jarang mereka mendapatkan cemoohan, cercaan, dan tidak jarang pula mereka mendapatkan pandangan negative dari sebagaian masyarakat yang belum mengetahui dan belum memahami kehidupan dan identitas waria itu sendiri. Waria selalu dianggap sebagai penyebar dan penular penyakit HIV AIDS, sebagai salah satu sumber hal-hal yang dianggap mengganggu, selalu diklaim sebagai pekerja seks dan bahkan ia juga dianggap sebagai seorang yang hina dan sulit bagi mereka untuk diterima dilingkungan masyarakat.
Karena stigma –stigma yang diperoleh oleh teman-teman waria dari masyarakat, menjadikan mereka mendapatkan perlakuan yang dimarginalkan, yang didiskriminasikan baik itu oleh masyarakat maupun oleh pemerintah dan bahkan mereka juga dikucilkan oleh keluarganya. Kaum waria ingin hidup seperti manusia pada umumnya, nyaman, bahagia, dan dapat bergaul dengan masyarakat sekitar.
Kaum waria juga manusia, dalam kehidupan sehari-harinya mereka sama seperti manusia pada umumnya. Mereka bersusah payah mencari penghasilan demi mempertahankan kehidupannya. Hal tersebut banyak berbagai cara yang bisa mereka lakukan, mulai dari mereka menjadi pengamen jalanan, pengamen keliling, berpengusaha menjadi salon ataupun menjadi pekerja malam (pekerja seks ).
Dalam hidupnya mereka juga mengenal istialah persaingan dalam hal pasangan hidup bahkan persaingan dalam mencari penghasilan. Kaum waria mereka sama halnya seperti perempuan pada umumnya yakni mencarai pasangan hidup. Waria mempunyai naluri sebagai seorang perempuan, maka wajar saja bila mereka bersaing untuk mempercantik diri dan membuat dirinya indah agar dapat menarik perhatian kaum laik-laki.
Apa yang mereka lakukan mungkin sulit untuk kita terima dengan akal kita, tapi itulah mereka. Mereka mendedikasikan diri kerena bukan sebagai seorang laki-laki tapi sebagai seorang perempuan, teman-teman waria juga mempunyai perasaan jatuh cinta.
Religiusitas kaum waria
Waria harus hidup dalam larangan dan realita. Hidup dalam larangan sikap negatif yang diperolehnya dari masyarakat, hidup dalam larangan yang ditetapkan keluarga untuk tidak menjadi seorang waria karena keluarga malu, hidup dalam larangan karena ia merasa dirinya berdosa telah melanggar kodrat Tuhannya.
Bukan pilihannya untuk menjadi seorang perempuan tetapi ketika ia berusaha untuk menjadi laki-laki dan itu bertentangan dengan realita yang dihadapinya, kenyataannya ia laki-laki yang nyaman hidup menjadi seorang perempuan. Waria dalam kehidupannya sama halnya dengan mausia pada umumnya, yakni menginginkan kenyamanan, kedamaian kebahagiaan dan mereka juga ingin dekat dengan Tuhannya.
Mereka mencari tempat untuk mewujudkan semua itu. Dalam keagamaannya mereka juga mengaji, sholat dan juga puasa (bagi yang beragama Islam). Kemudian, tidak jarang mereka kebingungan dalam hal ibadah. Apakah ketika mereka beribadah dengan pakaian seperti perempuan berdosa atau tidak, apakah mereka harus beribadah seperti laki-laki dengan menggunakan sarung dan peci atau seperti perempuan dengan menggunakan mukena.
Namun mereka percaya bahwa Allah S.W.T tidak membeda-bedakan umatnya yang mau beribadah siapapun bisaberibadah dan bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
Sebuah kebahagian bagi teman-teman waria, saat ini ada tempat yang bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.agar mereka bisa merasakan nikmatnya ketenangan dalam beribadah. Untuk mewujudkan keagamaannya, saat ini ada sebuah pondok pesantren yang didirikan khusus untuk waria. Pesantren ini bernama Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis dan didirikan oleh Maryani, 50 tahun.
Ibu Maryani adalah mantan seorang waria. Ia mendirikan pondok pesantren ini dengan tujuan ingin mengentaskan teman-teman warianya dari jalanan dan ia juga ingin membantu teman-teman waria agar bisa mencurahkan spiritualitasnya dengan nyaman.Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, teman-teman waria tetap mempunyai semangat untuk menjalani kehidupannya meskipun lika-liku kehidupannya cukup curam, karena mereka harus hidup dalam ruang realita, menghadapi larangan sosial dan keagamaan.
Waria menjalankan kehidupannya, mereka berusaha untuk mencapai dan melakukan hal-hal yang positif, berusaha untuk memberikan pandangan sosial yang baik, berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dengan hal-hal yang baik pula. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sebagian teman-teman waria membentuk sebuah komunitas dan membentuk organisasi. Dengan adanya komunitas yang diorganizing ini, mereka banyak mengadakan dan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan. Seperti mengikuti pelatihan keterampilan, mengikuti kegiatan sosialisasi HIV AIDS, bahkan diantara mereka juga ada yang sudah ikut andil dalam LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Sebagai point penting disini adalah bahwa waria juga manusia. Jangan memandang kaum waria atau kaum marginal dengan sebelah mata. Mereka bisa melakukan hal yang positif, mereka bisa berprestasi mereka juga bisa melakukan hal yang terbaik untuk lingkungan masyarakat.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com