Search
Close this search box.

Jakarta.ourvoice.or.id – Sejak dulu sampai sekarang tidak ada satupun tafsir Al-Quran yang bebas dari kesalahan, begitu juga tidak ada tafsir yang mampu merangkum semua hal. 

Itulah penegasan Quraish Shihab yang disampaikan saat launching buku ” Pesan-Pesan Al-Quran” karya Djohan Effendi di Gedung Perpustakaan Nasional, Sabtu (12/10/2012) Jakarta Pusat. Beliau juga memberikan kritik atas buku ini, menurutnya jika tidak hati-hati dibaca maknanya, buku ini akan bisa mempunyai arti lain. Tetapi Quraish Shibab tetap memberikan apresiasi yang besar atas keluarnya buku ini, yang berhasil “merangkum” makna Al Quran ke dalam pesan-pesan yang “singkat”.

Diskusi kali ini juga dihadiri narasumber lainnya seperti Prof.Dawam Rahardjo, Prof.Frans Magnis Suseno dan Budhy Munawar-Rachman, Menurut Dawam Rahardjo buku yang dituliskan bertepatan hari ulang tahun ke-73 Djohan Effendi ini merupakan bagian dari tafsir Al Quran. Ini bagian dari memperkaya pemahaman ke-Islaman yang sudah ada sebelumnya.  Tafsir atas tafsir Al-Quran, ungkap Dawam Rahardjo.

Buku “Pesan-pesan Al-Quran” memang mencoba memahami “intisari” dari semua surat (114 surat) dan ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah untuk “merangkum” dalam semangat nilai-nilai ajaran Islam yang rahmat bagi semua alam, salah satunya keadilan. Karena latar belakang sosial dan gerakan sang penulis yang fokus pada isu-isu demokrasi, kebangsaan maupun pluralisme selama ini, sehingga semangat memaknai Al-Quran juga sangat kuat dalam isu-isu tersebut.

Menurut Budhy Munawar-Rachman yang menyatakan bahwa Djohan Effendi seorang pemikir Islam yang mengagas konsep negara “sekuler”.  Sehingga Djohan Effendi menjadi salah satu intelektual muslim yang menolak formalisasi “syariah Islam” diterapkan di Indonesia, ungkap Budhy.  Negara sekuler adalah negara yang memisahkan secara jelas antara agama dan negara.

Negara sekuler memberikan ruang yang bebas pada setiap orang untuk beribadah dan berkeyakinan, tetapi pandangan agama tidak akan menjadi kebijakan publik (negara). Contoh beberapa negara sekuler seperti Belanda, Perancis maupun negara-negara Eropa lainnya. Menurut Budhy dalam makalahnya Djohan Effendi berpendapat tentang negara sekuler karena realitas kehidupan manusia sangat beragam (plural). Bahkan dalam Islam sendiri berbeda-beda memaknai Islam.  Sehingga negara sebaiknya memang tidak ikut campur dalam soal keyakinan warga negara, apalagi ikut-ikut mencap sesat atau mengelompokan agama resmi ataupun tidak resmi.

Djohan Effendi memang selama ini dikenal sebagai pejuang dalam soal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini diungkapkan dalam diskusi tersebut oleh Frans Magnis Suseso, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara. Menurut Frans, Djohan Effendi telah mengajarkan bagaimana Islam ditampilkan sebagai agama yang damai dan penuh kasih. Magnis sebagai seorang penganut Khatolik dapat belajar banyak dari sosok Djohan Effendi.  Sebaiknya semua orang yang beragama harus “berani” belajar tentang hal-hal yang baik dari agama atau keyakinan orang lain, ungkap Magnis Suseno.

Diskusi malam itu tentu semakin indah, karena bukan hanya narasumber yang berbeda keyakinan tetapi para peserta yang memenuhi ruang diskusi dari berbagai latar belakang.  Dari mulai perempuan berjilbab-tidak berjilbab, menggunakan rok panjang-rok pendek, berkopiah-tanpa kopiah sampai dari berbagai agama lain seperti Budha,Baha’i, Kristen, Konghuchu, homoseksual-heteroseksual-biseksual ataupun identitas lainnya.

Itulah realitas kemanusiaan yang ada selama ini khususnya di Indonesia, yang tidak mungkin bisa kita diingkari.  Berkumpul dan bersama dalam keberagaman tanpa saling menghujat maupun menggunakan cara-cara kekerasan. Inilah yang semestinya agama tampilkan untuk peradaban kemanusiaan. (Hartoyo)