Lingkar Survei Indonesia (LSI) mengabarkan hasil survei yang mengatakan, intoleransi terhadap minoritas di Indonesia terus meningkat, dengan level tertinggi intoleransi terhadap kelompok gay dan lesbian.
Laporan yang dipublikasikan pada hari Minggu (22/10) itu merangkum, sekitar 80,6 persen sampel populasi menolak bila harus hidup bertetangga dengan orang yang berorientasi seksual sejenis, baik lesbian maupun gay.
Angka di atas, menurut LSI, melonjak sejak survei terakhir dilakukan pada tahun 2005. Survei 7 tahun lalu itu menyatakan, 64,7 persen warga Indonesia menolak hidup bertetangga dengan orang berorientasi homoseksual.
LSI menemukan, intoleransi terhadap homoseksual (homofobia) para responden lebih tinggi ketimbang keengganan bertetangga dengan penganut agama berbeda, yang mencapai angka 15,1 persen.
Survei terhadap 1.200 orang pada tanggal 1-8 Oktober menunjukkan, bila terpaksa, responden lebih memilih untuk tinggal bersebelahan dengan penganut Syi’ah maupun Ahmadiyah ketimbang dengan homoseksual.
Padahal, survei ini juga menunjukkan, 41,8 persen orang mengaku tak akan nyaman tinggal bersebelahan dengan penganut Syi’ah, dan 46,6 terhadap penganut Ahmadiyah.
“Kebanyakan responden yang menunjukkan intoleransi [terhadap grup minoritas ini] adalah lelaki, berpendapatan rendah, dan orang dengan pendidikan rendah,” kata periset LSI, Ardian Sopa, dalam konferensi pers.
Nyaris 60 persen responden yang mengaku intoleransi adalah lelaki. Lebih dari 67 persen dari lelaki ini tidak pernah mengecap pendidikan atau paling tinggi lulus SMA. LSI juga menemukan, 63,4 63,4 persen responden yang mengaku intoleran terhadap grup minoritas itu, secara rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp 2 juta per bulan.
Awal Juni, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengkonfirmasi, asumsi intoleransi terhadap agama sedang meningkat di Indonesia.
CSIS melakukan survei antara 16-24 Januari, mereka menemukan, meski 83,4 persen responden mengaku tak bermasalah bertetangga dengan orang dari etnis berbeda, namun 79,3 persen merasa keberatan tinggal dekat dengan keluarga yang di dalamnya berbeda agama.
Direktur lembaga nirlaba Denny JA Foundation, Novriantoni Kahar mengatakan, survei ini menunjukkan, Indonesia masih jauh dalam upaya memberikan perlakuan sama (setara) terhadap orang berorientasi seksual sejenis.
“[Penerimaan terhadap orang berorientasi seksual homoseksual] masih sulit di negara ini, karena level penerimaannya lebih rendah ketimbang terhadap orang dengan agama maupun etnis berbeda,” katantya.
Menurut Novriantoni, yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan banyak orang, kebanyakan sisi intoleransi terlihat di kalangan yang berpendapatan sangat rendah.
“Pemerintah sebaiknya melakukan perbaikan dalam bidang sosioekonomi. Orang-orang pengangguran atau miskin bisa dengan mudah disuruh/dipengaruhi untuk menyerang grup minoritas,” jelasnya lagi.