Ourvoice.or.id – Hasil riset Yayasan Denny JA mengungkapkan bahwa 80 persen publik Indonesia tidak menerima bertetangga dengan kelompok homoseksual, dalam riset ini tidak dijelaskan mengapa. Namun satu informasi yang sangat jelas dapat ditangkap adalah secara umum publik Indonesia masih homofobia (ketakutan atas keberadaan homoseksual). Berasal dari ketakutan yang tidak beralasan ini, maka timbullah diskriminasi. Indonesia masa depan adalah Indonesia yang tanpa diskriminasi, itu adalah janji ibu pertiwi. Dimana dapat kita lihat dalam UUD 1945, bab XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28I ayat 2 yang menyatakan bahwa, “setiap orang bebas dari perlakukan yg bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu.” Untuk itulah sebagai bentuk edukasi publik, Yayasan Denny JA dan Ourvoice Indonesia, pada hari Rabu 24 Oktober 2012, mengadakan nonton film bareng “Cinta Yang Dirahasiakan.” Acara ini masuk dalam rangkaian Pekan Indonesia Tanpa Diskriminasi dengan mengusung jargon “Beda Yes!, Diskriminasi NO!!”. Setelah nonton film, diadakan diskusi publik yang bertemakan pergerakan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender (LGBT). Merlyn Sopyan, seorang aktivis LGBT, di daulat sebagai pembicara menemani Prof Koeswinarno, peneliti waria, dengan dimoderatori oleh Hartoyo, Sekretaris Umum Ourvoice Indonesia.
Film “Cinta Yang Dirahasiakan” menceritakan tentang pergulatan hidup seorang homoseksual dalam mendamaikan orientasi seksual dengan agamanya. Film yang awalnya berjudul Cinta Terlarang Batman dan Robin ini, mengganti latar filmnya dari lingkungan pesantren menjadi lingkungan sekolah umum, penyesuaian ini merupakan bentuk strategi untuk mengangkat isu LGBT secara halus, “Penyesuaian ini merupakan bentuk pilihan strategi, kami tidak mau menghabiskan waktu dan energi untuk berpolemik,” Ujar Novri, Ketua Yayasan Denny JA. Ketika ditanya apakah “penyesuaian” ini karena tekanan dari kelompok-kelompok tertentu, dengan santai Novri pun menjawab tidak.
Setelah kurang lebih 45 menit menonton film, diskusi pun dimulai. Perbincangan diskusi mengerucut pada asal muasal seseorang menjadi homoseksual, apakah nature atau norture? Dan bagaimana pola pergerakan LGBT di Indonesia secara revolusioner atau evolusioner? Masing masing menjelaskan pandangannya, masing masing mengungkapkan pengalamannya. Satu kenyataan yang menarik yang diungkapkan oleh Saidiman Ahmad, seorang aktivis pluralisme, bahwa isu LGBT masih menjadi kendala dalam isu pluralisme, para aktivis pluralisme sendiri terpecah antara mendukung atau menolak LGBT. Agama seharusnya menjadi terbuka dan lebih ramah terhadap LGBT, “Riziq Shihab bisa menggunakan agama untuk melakukan kekerasan kenapa agama tidak bisa digunakan untuk membela LGBT? ” Ungkap Saidiman. (Guhtee Gaidar)