Surabaya (ANTARA News) – “Wah, Jember bisa heboh (gempar) gara-gara pemberitaan saya,” ucap warga Desa Cangkring Baru, Kecamatan Jenggawah, Jember, Jawa Timur, Sutika bin Marwapi (42).
Pernyataan polos itu meluncur dari mulut seorang waria asal Jember yang ditemui ANTARA di Gedung A-2 Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES), Senin.
Ya, waria yang bernama asli Sutikah itu berangkat menunaikan ibadah haji dengan Kloter 69 dari Bandara Juanda Surabaya, Senin (15/10) malam dan tiba di Mekkah, Selasa (16/10) pagi.
“Sebagai Muslim, saya ingin menunaikan ibadah haji, tapi kalau saya seperti begini ya takdir, karena itu saya ingin bertobat di Tanah Suci,” tuturnya.
Ia mengaku dirinya bertobat di Tanah Suci, karena ia menjadi waria itu bukanlah keinginan dirinya.
“Saya ingin masuk surga, apalagi keluarga saya sebenarnya termasuk orang yang ngerti (taat beragama),” timpalnya.
Awalnya, dirinya mendaftar untuk menunaikan haji dengan nama Sutikah, namun petugas Imigrasi mencurigai dirinya hingga akhirnya menyatakan dirinya sebagai laki-laki.
“Jadi, saya hampir tidak jadi berangkat, tapi saya beruntung dengan petugas haji (di Kemenag Jember) yang baik-baik, sehingga saya diminta mengurus KTP sebagai laki-laki,” tukasnya.
Mendengar saran itu, dirinya mau saja, karena keinginan dirinya untuk berangkat haji sudah kuat, terlepas apakah menggunakan KTP sebagai wanita atau laki-laki.
Ungkapan Sutika itu dibenarkan petugas Kloter 69/Jember, Wahib.
“Ya, Sutika sempat mengalami kesulitan, karena petugas Imigrasi memintanya untuk memakai KTP laki-laki, padahal dirinya merasa sebagai wanita dan telah memiliki KTP wanita,” kilahnya.
Akhirnya, pihaknya menyarankan Sutika untuk mengurus KTP laki-laki ke Dispendukcapil agar tidak mengalami kesulitan untuk beribadah haji.
“Alhamdulillah, dia mau, karena semangatnya beribadah haji memang cukup kuat,” katanya.
Pulangnya jadi wanita
Namun, Sutika tidak mengubah nama, kecuali sedikit yakni Sutika untuk nama laki-laki, sedangkan nama sebelumnya sebagai wanita adalah Sutikah.
“Teman-temannya justru senang menggoda dan untungnya dia bisa bersikap sabar,” tandas petugas Kloter 69/Jember, Wahib, sambil tersenyum.
Hal itu dibenarkan Sutika sendiri ketika ditanya tentang perasaan dirinya sebagai wanita yang dikumpulkan di ruangan laki-laki saat menunaikan ibadah haji dari asrama haji hingga Tanah Suci.
“Ya, biasa saja. Saya justru bisa latihan untuk menahan emosi,” tegasnya.
Tentang semangatnya menunaikan ibadah haji, waria yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Jenggawah itu mengaku dirinya berasal dari keluarga miskin.
“Lalu, saya merantau ke Bali untuk bekerja. Di Bali, pikiran saya terbuka untuk berdagang dan saya mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah haji agar saya tidak malu di hadapan keluarga,” tukasnya.
Setelah itu, dirinya pun mendaftar haji pada tahun 2008 dan akhirnya sekarang ditakdirkan berangkat pada Senin (15/10) malam.
“Karena itu, saya berharap kaum waria untuk tetap menjalankan ibadah secara maksimal, termasuk beribadah haji,” urainya.
Bahkan, dirinya mengajak rekan-rekannya sesama waria untuk menunaikan ibadah haji. “Bagi mereka yang belum punya uang ya umroh-lah,” ujarnya.
Ditanya alasan dirinya merasa mantap sebagai wanita, ia menyatakan hal itu merupakan sumpah yang pernah dilontarkan di hadapan orang tua.
“Saat remaja, orang tua memanggil saya tole (panggilan untuk anak laki-laki di Jawa), lalu lama-lama saya tersinggung dan saya menegaskan kepada orang tua untuk memanggil saya sebagai wanita untuk seterusnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, dirinya tidak mempersoalkan berangkat haji sebagai laki-laki.
“KTP sebagai laki-laki atau apa itu yang penting bisa berangkat haji, tapi sepulang dari Tanah Suci, saya akan tetap wanita. Jadi, berangkat hajinya laki-laki, tapi pulangnya kembali jadi wanita,” paparnya sambil tertawa.
sumber : http://www.antaranews.com