Bagi mayoritas masyarakat, transgender dan gay masih menjadi kelompok marginal. Bahkan di beberapa lingkungan sosial, dua kelompok ini tidak bisa diterima sama sekali akibat stigma dan salah pengertian. Gay dan transgender dieratkan dengan perilaku hidup menyimpang dan sumber dari HIV dan AIDS. Padahal kalau saja masyarakat mau melihat lebih dekat, akan tampak jelas bahwa kenyataan berada jauh daripada dugaan.
Laporan kemajuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai HIV dan AIDSdi Asia Tenggara 2011 memperkirakan ada 3,5 juta orang hidup dengan HIV dan AIDS selama 2010. Sekitar37 persen dari angka ini merupakan anak-anak dan perempuan. Sementara gay, laki-laki heteroseksual, dan biseksual yang termasuk dalam kelompok “laki-laki yangberhubungan seks dengan laki-laki” (Men who have Sex with Men/MSM), serta transgender (TG), berbagi porsi yang tidak terlalu signifikan.
Namun, kelompok MSM dan TG diakui berisiko tinggi. Pada laporan sebelumnya, diperkirakan kelompok MSM menduduki porsi 6-12 persen dari jumlah penduduk Asia Tenggara. Dari jumlah ini, sekitar 1,8 juta orang telah meninggal akibat HIV dan AIDS tahun 2010.
Prevalensi HIV dan epidemi AIDS di antara MSM dan TG terus meningkat secara global. Walaupun data-data mengenai insiden itu tetap terbatas, upaya pencegahan dan perlindungan harus terus digencarkan guna menekan kemungkinan penularan.
Melalui mekanisme perawatan inovatif, penyebaran informasi yang cukup, peningkatan kesehatan layanan, dan peningkatan komitmen politik, orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) saat ini dapat hidup lebih lama dan lebih baik. Langkah-langkah itu telah dilaksanakan dalam program kerja organisasi-organisasi yang bergerak dalam komunitas MSM dan TG. Mereka memberi advokasi dan edukasi tentang HIV dan AIDS kepada MSM dan TG secara global.
Perhatian terhadap fenomena ini membawa Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), bersama ISEAN dan HIVOS, melaksanakan penelitian berjudul “Strengthening Community System to Reduce Vulnerability and Impact of HIV Infection on MSM and TG in Insular South East Asia”. Penelitian ini bertujuan mencari solusi atas kesenjangan dalam upaya mendukung kegiatan organisasi MSM dan TG guna mengurangi infeksi HIV dan AIDS di kelompok-kelompok dampingan mereka.
Penelitian ini juga diharapkan mampu mendokumentasikan sejarah dan praktik penyebaran informasi mengenai HIV dan AIDS oleh sejumlah organisasi MSM dan TG di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Timor Leste. Penelitian juga bermaksud mencari faktor-faktor utama dan pembelajaran dari organisasi melalui kerangka evaluasi yang diadopsi dari ICOMP dan USAID sebagai rekomendasi bagi organisasi MSM dan TG lain di kawasan yang sama.
Kegiatan dilakukan dengan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif yang saling melengkapi, meliputi wawancara mendalam dengan informan kunci dari kalangan internal organisasi, penerima manfaat, dan mitra organisasi, pengamatan, wawancara kelompok, dan telaah pustaka. Ragam pertanyaan yang dipakai dalam wawancara mencakup soal pemerintah, efektivitas program, keberlanjutan, dan faktor-faktor pendukung.
Sasaran penelitian adalah LSM/organisasi MSM dan TG yang fokus pada HIV dan AIDS di Indonesia (YIM, YSS, GESSANG, dan KEBAYA), Filipina (TLF SHARE, HEARS, dan STRAP yang berbasis di Manila, dan Barako Batangas Pride Inc (BPPI) yang berbasis di Kota Batangas), Malaysia (PT Foundation, WAKE, dan KLASS), dan Timor Leste (FTH). Informan kunci dalam penelitian ini adalah direktur organisasi, manajer, dan staf, relawan, pekerja lapangan, dan penerima manfat.
Respon Berbeda
Dari hasil penelitian diketahui bahwa negara, masyarakat, dan keluarga di empat negara memberi tanggapan berbeda terhadap isu-isu MSM dan TG. Apabila dibandingkan dengan Filipina, Timor Leste, dan Indonesia, masyarakat di Malaysia memberi penerimaan yang lebih rendah terhadap organisasi MSM dan TG. Hal ini disebabkan kontrol negara yang kuat untuk organisasi melalui pelaksanaan hukum syariah. Akibatnya, LSM dan organisasi masyarakat di Malaysia harus menggunakan isu HIV dan AIDS untuk dapat menjangkau penerima manfaat.
Ada empat aspek organisasi yang dinilai dalam penelitian ini, yakni efektivitas organisasi, pemerintahan, keberlanjutan, dan atribut pendukung. Kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik di setiap negara juga menjadi penentu dari keempat aspek tersebut.
Efektivitas program dinilai melalui keberadaan perencanaan strategis, struktur organisasi, dan manajemen keuangan. Organisasi di Indonesia dan Filipina memiliki tantangan yang serupa, yakni kurangnya kapasitas untuk untuk mendesain perencanaan strategis jangka panjang. Di Malaysia, organisasi mendapat dukungan keuangan dari pemerintah sehingga mampu mengembangkan berbagai program. Keberlanjutan organisasi dengan baik terjadi di Timor Leste karena program-program mereka berjalan efektif.
Aspek pemerintahan melihat peran institusi dalam manajemen organisasi dan keberadaan sistem pendukung kinerja, integritas, dan akuntabilitas. Di empat negara, mayoritas organisasi mampu mengembangkan struktur organisasi dan mempertahankan tugas-tugas divisi. Program dan kegiatan dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan organisasi, sementara semua anggota telah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Keberlanjutan dinilai dari kemampuan organisasi untuk mendukung keuangan dalam jangka panjang, keberlanjutan organisasi, efektivitas program, dan dampaknya. Di Indonesia dan Filipina, sebagian besar organisasi menerima dana dari lembaga donor, sedangkan di Malaysia semua dukungan keuangan untuk organisasi harus disalurkan melalui badan pemerintah. Sebagai hasilnya, organisasi di Indonesia dan Filipina lebih fleksibel dalam penggunaan keuangan, dan organisasi di Malaysia cenderung terbatas. Di Timor Leste, organisasi menerima dana dari lembaga donor internasional yang dialokasikan melalui MoH (Ministry of Health).
Praktik-praktik organisasi dan atribut dinilai melalui interkoneksi efektivitas organisasi, pemerintahan, dan keberlanjutannya. Kelompok-kelompok sasaran atau penerima manfaat dari organisasi di empat negara memiliki kesan yang baik pada CBO’s (Community-Based Organizations) program dan kegiatan.
Dari keseluruhan hasil penelitian, terungkap bahwa mayoritas organisasi masyarakat atau LSM telah berupaya optimal dalam melakukan advokasi terhadap kelompok MSM dan TG. Namun, perlu disadari bersama bahwa upaya-upaya ini tentu tidak dapat berjalan searah, tentu harus mendapat respon dan dukungan dari para pemangku kebijakan dan kelompok MSM dan TG selaku penerima manfaat. (*)
*Newsletter Littera PSKK UGM Edisi III (Agustus – September 2012)
Sumber : kompasiana.com